Posted by: epurwanto | April 21, 2008

Social Forestry dan Pemberdayaan Masyarakat

Social Forestry dan Pemberdayaan Masyarakat

 

 

“Forestry is not about trees, it is about people. And it is about trees only in so far as trees can serve the needs of the people” (Westoby, 1987[1])

 

“Kehutanan bukan sekedar berhubungan dengan pohon, melainkan masyarakat. Pohon menjadi penting selama keberadaannya bermanfaat bagi kepentingan masyarakat”.

 

Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang memiliki budaya harmoni (hidup selaras) dengan alam, yaitu yang  memposisikan diri sebagai bagian dari alam, bangsa yang meng-kami-kan alam, dan bukan meng-engkau-kan alam. Hal ini berbeda dengan akar budaya barat yang memandang alam sebagai bagian yang terpisah dari dirinya, sehingga mainstream yang berkembang adalah menaklukan alam.

 

Kentalnya budaya harmoni dengan alam inilah yang membuat hutan alam purba di negeri ini bisa dipertahankan selama berabad-abad, bahkan masih dalam kondisi utuh hingga akhir tahun 60-an. Hal tersebut terjadi, karena masyarakat memandang hutan sebagai rumah, menjadi bagian dari budaya dan kehidupan mereka. Merusak hutan berarti menghancurkan kehidupan. Tanpa dukungan budaya seperti ini, bisa dipastikan seluruh hutan alam purba telah hancur jauh sebelum pemerintahan orde baru dan era reformasi saat ini. Tanpa budaya harmoni dengan alam, hutan-hutan alam purba telah lama punah, sebagaimana yang terjadi di negara-negara barat.

 

Memandang alam sebagai rumah yang perlu dijaga inilah yang kemudian dikenal dengan prinsip‘ekologi’, dari kata oikos yang berarti rumah, dan logos yang berarti ilmu.  Ilmu ekologi yang tumbuh di Barat inilah yang kemudian mendasari gerakan konservasi. Berbeda dengan Bangsa Indonesia yang memiliki akar budaya harmoni dengan alam, di Barat  kesadaran tersebut baru tumbuh setelah hutan-hutan alam mereka hancur, keragaman hayatinya merosot, baik oleh kerusakan hutan maupun penggunaan bahan kimia secara berlebihan. Terganggunya keseimbangan ekologi oleh kehancuran hutan dan penggunaan teknologi inilah yang  menginspirasi Rachel Carson untuk menulis ‘The Silent Spring’ (musim semi yang sepi) pada tahun 1962. Buku setebal 400 halaman ini berhasil menggugah kesadaran orang terhadap pentingnya hidup harmoni dengan alam. Sejak itulah gerakan ekologi dan konservasi di Barat berkembang pesat. 

 

Ironisnya, saat gerakan konservasi di Barat sedang mekar, manusia Indonesia yang  sedang demam growth-mania (pertumbuhan ekonomi) justru gencar-gencarnya mengeksploitasi hutan alamnya. Pemerintah mensimplifikasi hutan hanya sebagai ladang emas hijau, padahal hutan juga menjadi habitat beraneka jenis kekayaan hayati, selain menjadi tempat hidup masyarakat asli, yang di masa lalu sering disebut sebagai ‘masyarakat terasing’. Penetapan kawasan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) sama sekali tidak mempertimbangkan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat asli. Dampaknya ‘kerajaan’ suku-suku asli yang selama ratusan tahun hidup harmoni dengan alam hancur, seiring dengan kerusakan habitatnya. Mereka kemudian hanya berperan sebagai penonton yang miskin dan tidak berdaya. 

 

Base-camp, base-camp HPH yang didirikan di jantung-jantung kehidupan masyarakat asli selain menjadi pusat gerakan penghancuran hutan, juga menjadi penyebar virus gaya hidup konsumerisme. Dari sana para ‘penonton’ itu  mengenal berbagai jenis makanan dan minuman serta barang-barang ‘aneh’ yang sebelumnya tidak pernah mereka butuhkan. Gaya hidup materialisme ini dengan cepat merasuki seluruh sel kehidupan masyarakat asli yang sebelumnya hidup harmoni dengan alam.

 

Sementara sistem berbasis adat dalam pengeloaan sumberdaya alam juga terdegradasi  oleh sistem pemerintahan desa yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat.  Peran tokoh adat  yang sebelumnya sangat berwibawa tereduksi, sehingga berbagai aturan adat dalam pengelolaan sumberdaya alam, seperti Ongko di Sulawesi Selatan, Kaombo di Buton dan Sasi  di Maluku secara perlahan punah. Kini kelembagaan adat dan hukum adat yang ditaati, serta wilayah hukum adat yang jelas pada umumnya sudah sulit ditemukan dalam kehidupan masyarakat. Kekayaan adat yang sering kita banggakan saat ini tidak lebih hanya sebuah romantika masa lalu. Yang tersisa hanyalah bangunan adat, pakaian adat, makanan adat dan cerita kejayaan adat di masa lalu. Sedangkan sistem adat yang telah berhasil mengatur pengelolaan kekayaan sumberdaya secara adil dan lestari selama beribu tahun, sebagian (besar) telah sirna untuk selamanya. Kondisi inilah yang membuat illegal logging di berbagai kawasan hutan negara begitu marak, karena hal tersebut sudah dianggap sebagai suatu pilihan pekerjaan yang syah-syah saja. Kearifan lokal (local wisdom) yang pernah mereka miliki telah hancur diterjang ekonomi kayu.  

 

Sosial forestri

 

Dengan latar belakang kerusakan hutan dan kehancuran budaya seperti ini, bagaimana masa depan kehutanan Indonesia dibangun? Beberapa pihak menaruh harapan yang begitu besar terhadap Social Forestry (kehutanan masyarakat, sosial forestri), yang intinya adalah melibatkan peran masyarakat dalam pengelolaan hutan.  

 

Konsep sosial forestri lahir sebagai tanggapan kegagalan pengelolaan hutan oleh pemerintah, semangat ini setidaknya telah lahir jauh sebelum hutan Indonesia porak poranda, yaitu sejak Kongres Kehutanan Sedunia di Jakarta pada tahun 1978, yang mengambil tema Forest for People (hutan untuk rakyat).  Namun, ide tersebut tidak mendapat respon yang memadai dari kalangan rimbawan dan pengambil kebijakan saat itu. Kini setelah nyaris semuanya hancur, baru tumbuh kesadaran untuk menggiatkan sosial forestri. Pertanyaannya masih adakah harapan dan layakkah kita berharap dari sosial forestri?

 

Bercermin dari luar, berbagai negara memang talah melakukan gerakan sosial forestri dengan menyerahkan penguasaan lahan hutan (land ownership) kepada masyarakat lokal. Di Amerika Latin 1.juta hektar kawasan hutan telah dikelola oleh masyarakat. Hampir 75 persen masyarakat di Mexico telah memperoleh hak atas sumberdaya hutan.  Demikian juga dengan Afrika, negara-negara Afrika Timur dan Selatan hampir seluruhnya telah meningkatkan pengakuan terhadap hak masyarakat lokal atas sumberdaya hutan.  Antara tahun 1994 dan tahun 1998, 2,5 juta hektar hutan (hampir 20% dari wilayah Filipina) diklasifikasikan sebagai wilayah adat, hal serupa juga terjadi di India, Nepal, Philipina, Thailand, Jepang, Korea Selatan  dan China. World Summit of Sustainable Development  di Afrika Selatan yang dihadiri 130.000 orang di seluruh dunia, juga mengakui bahwa gerakan community forestry akan menjadi sintesa dari gerakan kehutanan dunia.

 

Di Indonesia pengakuan secara hukum pengelolaan hutan oleh masyarakat baru terjadi di Krui (29.000 Ha, hutan damar mata kucing) di Lampung dengan menetapkan sebagai Kawasan dengan Tujuan Istimewa (KdTI), dimana masyarakat memperoleh hak pakai. Di Indonesia kebijakan sosial forestri selama ini ‘mentabukan’ disangkut-pautkan dengan masalah ‘land tenure’ (kepemilikan lahan hutan).  Artinya, sosial forestri hanya memberi hak kelola masyarakat terhadap lahan hutan, bukan hak kepemilikan kawasan hutan. Hutan, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya, dikuasai oleh negara (Pasal 4, ayat 1 UU 41.1999).

 

Kondisi seperti ini sering dikritisi oleh pengamat dan penggiat sosial forestri, pemerintah yang terbukti telah gagal mengelola hutan, sudah saatnya mengkuasakan sebagian dari kawasan hutan negara kepada masyarakat. Dilain pihak, keengganan pemerintah dapat pula dipahami, selain hal tersebut bertentangan dengan UU 41/1999,  semakin rapuhnya kelembagaan dan kearifan masyarakat lokal, maka penguasaan hutan kepada masyarakat dikawatirkan hanya memindahkan nasib hutan dari mulut singa ke mulut harimau. Namun benarkah masalah kepemilikan ini merupakan hal mendasar dalam penyelenggaraan sosial forestri?

 

Sosial forestri: Bukan sekedar persoalan kepemilikan

 

Ada yang menarik dari salah satu hasil penelitian Bulungan Research Forest (Levang, P dkk., 2003), yaitu meskipun hutan berperan besar dalam memenuhi hajat hidup bagi masyarakat Dayak Punan, hilangnya hutan  pada kasus tertentu ternyata tidak selalu berdampak pada semakin miskinnya masyarakat Punan. Hal ini dapat terlihat oleh kontrasnya perbandingan taraf hidup (bukan kesejahteraan/well-being) masyarakat yang hidup di wilayah terpencil di hulu sungai (hutan belum terganggu) dengan masyarakat yang berada di dekat Ibukota Kabupaten Malinau (hutan telah terbabat habis).  Di wilayah hulu, dimana sumberdaya hutan masih melimpah ruah, taraf hidup masyarakat adalah sangat rendah. Akses ekonomi, pendidikan dan kesehatan sangat terbatas dengan kematian anak yang berumur dibawah lima tahun yang sangat tinggi (35 %).  Sedangkan di wilayah hilir, dimana sumberdaya hutan telah habis, justru tarap hidup masyarakat Punan lebih baik, karena lebih tingginya akses ekonomi, pendidikan dan kesehatan, dan kematian balita-pun terhitung sangat rendah (6%).   

 

Dari hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa akses yang tinggi terhadap sumberdaya hutan yang melimpah tidak menjamin taraf hidup masyarakat. Kekurang berdayaan (miskinnya pendidikan, keterampilan, kelembagaan, sarana dan prasarana serta pasar) telah membuat mereka gagal mentransfer sumberdaya berharga yang mereka miliki kedalam nilai pasar. Tragisnya, apabila aksesibilitas ekonomi mereka di suatu saat meningkat, belum tentu mereka menjadi penikmat sumberdaya alam yang mereka miliki, karena pada saat itu berbagai pemodal kuat dari luar akan berdatangan untuk mengepung sumberdaya yang mereka miliki, dan mereka biasanya akan semakin termarginalisasi.

 

Dari kasus di atas, begitu jelas, bahwa persoalannya bukan sekedar kepemilikan sumberdaya, namun yang tidak kalah penting adalah keberdayaan masyarakat, tanpa masyarakat menjadi berdaya, apapun dan berapapun sumberdaya alam yang mereka kuasai akan jatuh ke tangan mereka yang tidak berhak. 

 

Sosial Forestri: Membuat masyarakat sekitar hutan berdaya

Disadari bahwa masalah sosial-ekonomi masyarakat kini merupakan conditio sine qua non (prasyarat mendasar) tercapainya kelestarian pengelolaan hutan, bagaimanapun baiknya penerapan aspek teknis pengelolaan hutan, apabila masalah sosial tidak dikelola dengan baik, maka semuanya tidak akan ada artinya, mengingat seluruh hasil kerja pengaturan kelestarian hutan berdasarkan teori silvikultur sebaik apapun, kualitasnya akan ditentukan oleh besarnya tingkat gangguan dan jaminan pengamanan hutan yang diberikan oleh masyarakat.

Disadari, sebagian besar masyarakat di sekitar hutan memiliki alternatif  terbatas dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Kegiatan illegal yang dilakukan oleh masyarakat di sekitar hutan  saat ini dilakukan karena terpaksa, karena tidak tersedia alternatif sumber ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya hari ini! Mereka menyadari bahwa kegiatan tersebut ilegal, mereka juga menyadari bahwa tenaga yang dicurahkan dan resiko kecelakaan (karena jarak dari desa ke sumber-sumber kayu dan rotan yang semakin jauh dari jalan dan umumnya sulit dijangkau) dalam proses penebangan dan pengangkutan kayu dan rotan tidak sebanding dengan upah yang diterima, mereka juga menyadari bahwa penikmat utamanya adalah para cukong.  Mereka melakukan itu semua karena tidak mampu mencari alternatif sumber kehidupan lain yang lebih manusiawi dan ramah lingkungan. Mereka terbelenggu oleh ketidakberdayaan struktural.

Kata ‘kehutanan’ (forestry) dalam ‘sosial forestri’, sebagaimana kutipan dari Westoby (1967) di awal tulisan ini, bukan semata berhubungan dengan pohon (forest), melainkan masyarakat yang berada disekitar hutan. Sosial forestri dengan demikian adalah sebuah upaya untuk meningkatkan kondisi ekonomi masyarakat yang hidup di sekitar hutan, terlepas sumber pencahariannya bersumber dari hutan atau bukan. Hutan tidak mungkin dipertahankan kelestariannya apabila masyarakat di sekitarnya dalam kondisi papa (miskin) dan tidak berdaya. Hutan hanya akan dapat dijaga kelestariannya oleh masyarakat yang berdaya. Dengan demikian sosial forestri adalah upaya membuat masyarakat disekitar hutan berdaya!

Kegiatan sosial forestri dengan demikian tidak terbatas di dalam hutan, melainkan seluruh upaya untuk membuat masyarakat sekitar hutan berdaya, sehingga mampu menjaga kelestarian hutannya. Hal tersebut misalnya dapat dilakukan dengan memfasilitasi terbangunnya unit-unit usaha kecil dan menengah (UKM) yang dapat digunakan sebagai alternative income sources (alternatif pencaharian) atau sustainable livelihood (mata pencaharian yang tidak merusak) bagi masyarakat yang selama ini hidupnya hanya tergantung dari sumberdaya hutan. Dalam konteks ini, setidaknya ada lima prinsip yang perlu ditekankan dalam pengembangan sosial forestri, yaitu membangun kapasitas masyarakat untuk berproduksi, memperkuat kapasitas dan kelembagaan masyarakat, membangun jaringan pemasaran baik untuk produk hutan atau non-hutan, meningkatkan nilai tambah produksi melalui pembangunan home-industri, dan peningkatan akses kredit perbankan.

Masalah sosial-ekonomi masyarakat menjadi kunci utama terjaminya kelestarian hutan, dengan demikian sosial forestri perlu dijabarkan secara lebih leluasa, yang meliputi seluruh upaya pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan. Sosial forestri adalah kegiatan pemberdayaan masyarakat, bukan sekedar pengusahaan hutan oleh masyarakat


[1] Westoby, 1987 dalam Sardjono, 2003

 

Posted by: epurwanto | April 21, 2008

Konservasi, Kemiskinan dan Transformasi Sosial

Konservasi, Kemiskinan dan Transformasi Sosial

 

Gerakan konservasi di Indonesia, setidaknya telah berlangsung sejak empat dasa warsa yang lalu. Kegiatan rehabilitasi hutan (reboisasi) dan lahan (penghijauan) telah dimulai sejak akhir tahun 60-an. Berawal dari sebuah proyek, kemudian menjadi sebuah gerakan nasional yang dikukuhkan melalui Instruksi Presiden No. 8/1976. Dalam jangka waktu tiga puluh tahun, gerakan tersebut tidak pernah terhenti, komitmen pemerintah dalam kegiatan reboisasi dan penghijauan bahkan semakin tinggi dengan digulirkannya Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan) pada tahun 2004.

 

Pemerintah juga memiliki komitmen dalam konservasi keragaman hayati, Direktorat Perlindungan dan Pelestarian Alam (PPA) telah ada sejak urusan kehutanan masih dibawah Departemen Pertanian. Pada saat Departemen Kehutanan terbentuk pada tahun 1983, Direktorat PPA ditingkatkan menjadi Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA). Luas kawasan konservasi baik daratan maupun lautan terus ditingkatkan. Gerakan konservasi yang telah dirintis oleh pemerintah, mulai tahun 1990-an, diperkuat oleh kehadiran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) baik yang berskala lokal, nasional maupun internasional. LSM yang merupakan representasi dari civil society ini mulai bermunculan bak jamur di musim hujan, menjelang dan setelah masa reformasi.

 

Jelaslah, bahwa konservasi bukanlah barang baru di Indonesia. Pertanyaannya, mampukah kerusakan hutan dikendalikan dan konservasi ditegakan? Secara jujur, success story Indonesia dalam gerakan konservasi masih sangat minim. Deforestasi melaju kencang hampir tanpa kendali, sedangkan perbaikan, kalaupun ada, sangat tidak seimbang dengan mega kerusakan yang terjadi. Ironisnya, gerakan reformasi, demokratisasi dan otonomi daerah selama ini tidak mampu menegakan konservasi, sebaliknya konservasi justru semakin surut kebelakang.  Laju deforestasi justru semakin meningkat dalam era reformasi. Pertanyaannya kemudian, apakah yang melatar belakangi kegagalan gerakan konservasi di Indonesia?

 

Selama ini sebagian besar upaya konservasi baik yang difasilitasi oleh pemerintah maupun lembaga konservasi (LSM) dilaksanakan dalam bentuk keproyekan. Karakter utama proyek adalah kesementaraan (temporer), aturan administrasi yang kaku dan indikator ketercapaian yang monumental dan (sering) tidak realistis untuk dicapai dalam waktu yang terbatas. Implikasinya, pelaksana proyek sering hanya berorientasi pada hasil yang bersifat instant, tanpa memperhatikan proses. Dampaknya, berbagai gerakan konservasi hutan kalau toh ada, biasanya hanya berlangsung sesaat.

 

Proyek konservasi (atau proyek apapun di negeri ini) sering justru mendidik masyarakat dan birokrat bermental keproyekan. Jiwa kemandirian masyarakat dan perbaikan kinerja pemerintah yang harusnya terbangun oleh keberadaan proyek, sering tidak tercapai, sebaliknya justru tergantung oleh proyek. Padahal ‘proyek’ hanya dimaksudkan sebagai triger (pemicu) sebuah perbaikan, kemudian perbaikan tersebut mesti dipelihara dan dikembangkan oleh pemerintah dan masyarakat dalam periode pasca proyek.

 

Proyek yang dimaksudkan untuk membangun budaya kerja, sering justru hanya memperkuat budaya materialisme. Masyarakat yang sejak jaman dulu kala memiliki tradisi menanam pohon misalnya, kini untuk menanam di kebunnya sendiri yang notabene untuk kepentingannya sendiripun, mesti didorong oleh kucuran dana Gerhan. Pemerintah yang bertugas mengelola kelestarian hutan sering tidak mampu mengendalikan kerusakan hutan yang ada didepan mata, karena untuk bertindak harus menunggu kucuran dana proyek.

 

Singkatnya, berbagai proyek yang ada selama ini  tidak berhasil membangun kemandirian masyarakat yang merupakan kunci utama dalam gerakan pemberdayaan masyarakat di bidang konservasi sumberdaya alam. Sedangkan semangat pengabdian dan kesetiakawanan (jiwa korsa) aparat pemerintah di bidang konservasi justru terkikis oleh budaya materialisme yang dipicu oleh sistem keproyekan.

 

Konservasi dan kemiskinan

 

Menjelang musim kemarau, bulan Juli dan Agustus tahun 2006, melalui iklan layanan masyarakat di layar kaca, Presiden bersama Menteri Kehutanan begitu gencar melakukan kampanye pencegahan kebakaran hutan dan lahan, ‘Ini harus kita hentikan! Ironisnya,  di lapangan, kebakaran hutan dan pembakaran lahan terus terjadi hampir tidak terkendali.

 

Pertanyaannya, apakah pemerintah sudah tidak berwibawa lagi? Atau masyarakat sudah begitu bebal (ignorant)? Tepatnya, kenyamanan lingkungan belum dirasakan sebagai kebutuhan hidup oleh masyarakat yang masih berjuang melawan belitan kemiskinan. Kenyamanan lingkungan (baca: konservasi) hanya menjadi kebutuhan masyarakat yang sejahtera, sebagaimana masyarakat di Singapura dan Malaysia dan negara maju lainnya yang memiliki tingkat kemakmuran yang tinggi. Kebutuhan utama masyarakat Indonesia  adalah menyiasati kebutuhan hidup ditengah semakin terbatasnya pilihan pemenuhan hidup. Perusakan lingkungan dilakukan, bukan semata karena miskinnya pemahaman, melainkan karena keterbatasan pilihan. Masyarakat tidak melakukan konservasi bukan karena mereka kurang memahaminya, melainkan mereka tidak berdaya untuk melakukannya!

 

Memahami kondisi ini, gerakan konservasi di Indonesia jelas tidak cukup dilakukan melalui kegiatan penyadaran. Gerakan konservasi harus mampu menciptakan kondisi pemungkin (enabling condition ) untuk membuat masyarakat berdaya. Yang dimaksud sebagai masyarakat berdaya adalah masyarakat yang memiliki kemandirian, memiliki kemampuan mencari nafkah secara manusiawi, masyarakat yang memiliki harkat dan martabat, masyarakat yang mampu mengaktualisasikan diri, masyarakat yang memiliki bargaining power.

 

Ketidak berdayaan masyarakat  berakar pada faktor kemiskinan, baik kemiskinan alamiah maupun kemiskinan struktural. Kemiskinan alamiah adalah kemiskinan yang disebabkan oleh kualitas sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang rendah sehingga mereka tidak mampu berproduksi. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang secara langsung atau tidak disebabkan oleh kurang tepatnya tatanan kelembagaan.  Dalam hal ini, tatanan kelembagaan dapat diartikan sebagai tatanan organisasi atau kebijakan ekonomi pemerintah yang tidak memihak pada masyarakat miskin.  Kemiskinan adalah buah dari buruknya iklim hidup yang terwujud pada sulitnya kelompok masyarakat mengakses pelayanan publik.

 

Kemiskinan dan ketidak berdayaan bak ayam dan telur, tidak jelas mana yang lebih dulu ada. Karena kemiskinan, maka masyarakat tidak berdaya. Hal ini membuat mereka selalu menjadi obyek pemerasan masyarakat yang lebih berdaya, dan karenanya mereka semakin miskin dan tidak berdaya. Kondisi ini membuat masyarakat semakin tidak peduli terhadap konservasi. Ketidak pedulian tersebut berdampak pada semakin merosotnya kualitas hidup dan kehidupan masyarakat dan karena itu mereka semakin miskin dan tidak berdaya.

 

Gerakan konservasi dengan demikian harus mampu memutus lingkaran setan (vicious circle) kemiskinan dan ketidakberdayaan. Tanpa menyentuh akar masalah yang sebenarnya, sebagaimana berbagai proyek konservasi di negeri ini, konservasi di Indonesia hanya akan menjadi sebuah wacana, sumber inspirasi penciptaan proyek-proyek baru, namun tidak pernah hadir dan dibutuhkan oleh masyarakat akar rumput. Gerakan konservasi adalah gerakan membangun kehidupan, karenanya harus bersifat total, menyentuh seluruh aspek hidup dan kehidupan masyarakat.    

 

Konservasi dan Transformasi Sosial

 

Sumberdaya hutan memiliki kandungan kekayaan yang luar biasa, baik yang bersifat tangible (kayu maupun non-kayu), maupun yang intangible (keindahan alam, hasil air, keragaman hayati). Ironisnya sebagian besar masyarakat yang berada di sekitar hutan adalah masyarakat miskin. Tidak ada penebang kayu atau pengumpul rotan yang hidup berkecukupan. Hal ini terjadi karena masyarakat di sekitar hutan adalah masyarakat yang tidak berdaya. Sayangnya, pencaharian sebagai pengumpul sumberdaya justru membuat mereka semakin tidak berdaya, karena mereka  hanya terbiasa menggantungkan kemurahan alam. Kondisi ini yang membuat hidup mereka terus dan semakin terbelakang.

Dengan demikian, pemberdayaan masyarakat sekitar hutan tidak dapat dicapai dengan sekedar membuka akses dan kontrol masyarakat terhadap sumberdaya hutan, melainkan harus memperkuat budaya berproduksi dengan mengolah kekayaan alam yang berada di sekitar hutan.  Kegiatan bisnis yang sesuai untuk konservasi, karena itu, bukanlah bisnis mengolah hutan yang (sering) berujung pada eksploitasi hutan besar-besaran oleh pihak luar, melainkan bisnis pertanian dalam arti luas.

Upaya pengalihan ini tentunya bukan hal yang sederhana, mengingat menebang kayu atau memungut rotan selain telah menjadi kebiasaan, barang yang dihasilkan juga bersifat liquid, artinya mudah diuangkan dalam waktu cepat. Sedangkan bisnis pedesaan berbasis pertanian, apapun bentuknya dan betapapun prospektifnya, tetap memerlukan proses dan waktu yang relatif lama hingga keuntungan siap dipetik. Oleh karena itu, masyarakat biasanya tidak mudah tergiur dengan alternatif baru, mereka perlu bukti-bukti yang kongkrit, mengingat kondisi ekonomi mereka yang sudah cukup berat, tidak ingin ditambah dengan peluang resiko kegagalan.

Kegiatan pengembangan bisnis dengan demikian bukanlah pekerjaan yang gampang, mengingat tidak ada ‘obat mujarab’ yang mampu merubah masyarakat secara cepat. Fasilitator pengembang bisnis harus mampu meyakinkan masyarakat terhadap berbagai keuntungan dan perbaikan ekonomi masyarakat dari model bisnis yang ditawarkan. Bisnis yang ditawarkanpun harus menjanjikan keuntungan dalam jangka waktu yang relatif pendek, karena masyarakat umumnya tidak memiliki ‘nafas yang panjang’ untuk menunggu terlalu lama.

Pemberdayaan masyarakat juga tidak dapat dijalankan dengan pola ‘Sinterklas’ sebagaimana yang banyak terjadi di berbagai proyek konservasi. Masyarakat harus dididik untuk tidak bermental proyek dan hanya mengharapkan bantuan cuma-cuma (there is no free lunch). Masyarakat harus dididik untuk disiplin dan bertanggung jawab.

Komitmen masyarakat terhadap konservasi harus dibangun melalui kontrak sosial, untuk memastikan bahwa bisnis yang dikembangkan benar-benar menjadi alternatif penghasilan baru dan bukan sekedar sebagai tambahan penghasilan dari kegiatan eksploitasi hutan yang masih terus dilakukan.

Masyarakat harus memiliki kelembagaan ekonomi yang kuat dan mandiri, yang dikembangkan oleh, dari dan untuk masyarakat.  Lembaga ini harus mampu berperan untuk mengatur kebutuhan ekonomi masyarakat, yaitu dari mulai proses produksi, pengolahan, pemasaran hasil, termasuk membangun akses masyarakat terhadap lembaga perbankan. Lembaga semacam ini harus disiapkan oleh pemerintah dan LSM sebagai exit strategy.  

Perubahan dari masyarakat ’tidak berdaya’ menjadi ’berdaya’ adalah sebuah proses sosial yang tidak mungkin dicapai secara instant, karena hal tersebut menyangkut perubahan perilaku, perubahan sosial dan budaya masyarakat. Konservasi karena itu hanya dapat diwujudkan melalui gerakan transformasi ekonomi dan sosial masyarakat. Sesuatu yang mungkin dapat dijadikan bahan renungan bagi para penggiat konservasi di negeri ini!

 

Posted by: epurwanto | April 21, 2008

Mencermati Konversi Hutan Alam Menjadi Kebun Kelapa Sawit

7. Mencermati Konversi Hutan Alam Menjadi Kebun Kelapa Sawit

 

Konversi hutan alam menjadi berbagai peruntukan terus berlanjut dengan laju yang sangat cepat. Setiap menitnya hutan alam seluas enam kali lapangan sepak bola rusak atau berubah menjadi peruntukan lain. Bank Dunia menaksir bahwa hutan alam dataran rendah Sumatera habis pada tahun 2005 dan menyusul Kalimantan pada tahun 2010. Data terakhir menyebutkan bahwa laju deforestasi di Indonesia sudah mencapai 2,83 juta ha per tahun (Dephut, 2005). Tingginya konversi hutan alam menjadi berbagai peruntukan lahan tersebut diyakini menjadi penyebab utama tingginya intensitas dan frekuensi bencana banjir dan tanah longsor sebagaimana kini banyak terjadi di berbagai wilayah di bumi pertiwi.

 

Disadari bahwa konversi hutan alam tidak selalu berdampak buruk, bahkan tidak sedikit kisah sukses konversi hutan menjadi tata guna lahan yang lebih produktif dan lestari.  Konversi hutan alam menjadi lahan sawah, perkebunan teh, karet dan berbagai bentuk wana-tani, termasuk pekebunan kelapa sawit di Jawa, Sumatera dan Kalimantan telah membuktikan bahwa konversi hutan alam tidak selalu menunjukkan wajah yang kurang ramah lingkungan. Namun juga tidak dapat dipungkiri, bahwa banyak kasus kerusakan lingkungan yang begitu dasyat sebagai dampak konversi hutan alam. Kegagalan konversi 1 juta ha hutan alam gambut menjadi lahan sawah di Propinsi Kalimantan Tengah menjadi pelajaran penting bagaimana konversi hutan alam tidak dapat dilakukan secara gegabah.

Indonesia kini dikenal sebagai penghasil dan pengekspor minyak sawit (Eleais quinensis Jack) kedua terbesar di dunia setelah Malaysia. Untuk mendukung pengembangan industri sawit, Departemen Pertanian tahun 2006 telah menyiapkan anggaran Rp380 miliar. Pengembangan itu berkaitan juga dengan pencetakan energy farming, khususnya biodisel dari minyak sawit. Bahkan, pemerintah baru-baru ini berencana untuk mencetak kebun kelapa sawit seluas dua juta hektar di wilayah perbatasan Kalimantan. Memperhatikan tingginya target perluasan perkebunan sawit, tidak menutup kemungkinan bahwa hutan-hutan alam yang masih tersisa saat ini menjadi sasaran konversi. Di wilayah lain, termasuk di Propinsi Sulawesi Tenggara, konversi hutan alam menjadi kebun kelapa sawit juga sedang marak terjadi, sebagaimana di Kabupaten Konawe dan Kolaka dan kemungkinan akan pula terjadi di Kabupaten Buton.

Dengan semakin tingginya frekuensi bencana banjir dan tanah longsor di berbagai wilayah yang disebabkan oleh kerusakan hutan alam, maka konversi hutan alam skala besar menjadi perkebunan kelapa sawit sudah saatnya untuk dicermati. Tulisan ini mencoba untuk mengulas dampak tata air (banjir, erosi, sedimentasi, tanah longsor dan ketersediaan air tanah) konversi hutan alam menjadi perkebunan kelapa sawit.

 

 

Dampak konversi hutan alam menjadi kebun kelapa sawit

 

Indonesia yang beriklim tropika basah memiliki intensitas hujan yang sangat tinggi. Kondisi curah hujan seperti ini, apabila tidak diimbangi dengan penata-kelolaan lahan yang baik terbukti berdampak pada kerusakan lahan dan berbagai bencana lingkungan seperti banjir dan tanah longsor. Sebenarnya alam telah diciptakan dengan penuh harmoni dan keseimbangan, tingginya intensitas hujan di wilayah tropis, telah diimbangi dengan penutupan hutan alam yang begitu luas, kondisi ini telah membuat bumi nusantara  dikenal sebagai bumi yang subur, ijo-royo-royo, gemah-ripah loh jinawi. Sayangnya, hutan alam yang berperan sebagai gudang sumberdaya genetik dan pendukung ekosistem kehidupan ini sering menjadi korban kepentingan pragmatis jangka pendek, termasuk diantaranya adalah konversi menjadi perkebunan kelapa sawit, di lain pihak masih banyak tersedia lahan lain selain hutan alam, termasuk diantaranya adalah lahan kritis yang kini telah mencapai 30 juta ha.

 

Hutan alam, dibandingkan dengan penutupan lahan apapun, memiliki berbagai kelebihan dalam meredam tingginya intensitas hujan dan mengendalikan terjadinya banjir, erosi, sedimentasi dan tanah longsor. Hutan alam, khususnya yang berada di pegunungan bukan hanya berfungsi sebagai pengatur tata air (regulate water), namun juga penghasil air (produce water). Hutan alam memberikan kemungkinan terbaik bagi perbaikan sifat tanah, khususnya dalam menyimpan air, hutan alam memberikan tawaran penggunaan lahan yang paling aman secara ekologis. 

 

Hal ini disebabkan: (1) Pepohonan pada hutan alam menghasilkan serasah yang cukup tinggi sehingga mampu meningkatkan kandungan bahan organik lantai hutan, sedemikian rupa sehingga lantai hutan memiliki kapasitas peresapan air (infiltrasi) yang jauh lebih tinggi dibandingkan penutupan lahan non-hutan. Tebalnya lapisan serasah juga meningkatkan aktifitas biologi tanah, sedangkan siklus hidup/pergantian perakaran pohon (tree root turnover) yang amat dinamis dalam jangka waktu yang lama, membuat tanah hutan  memiliki banyak pori-pori berukuran besar (macroporosity), sehingga tanah hutan memiliki laju penyerapan air/pengisian air tanah (perkolasi) yang jauh lebih tinggi; (2) Stratifikasi hutan alam (bervariasinya umur dan ketinggian tajuk hutan), tingginya serasah dan tumbuhan bawah pada hutan alam memberikan penutupan lahan secara ganda, sehingga berfungsi efektif untuk mengendalikan erosivitas hujan (daya rusak hujan), laju aliran permukaan dan erosi; (3) Dari sisi bentang lahan (landscape), hutan memberikan tawaran penggunaan lahan yang paling aman secara ekologis, dalam hutan alam sangat sedikit sekali ditemukan jalan-jalan setapak, tidak ada saluran irigasi, apalagi jalan berukuran besar yang diperkeras sehingga pada saat hujan besar berperan sebagai saluran drainase. Biomasa hutan yang tidak beraturan juga berperan sebagal filter pergerakan air dan sedimen. Di dalam hutan alam juga tidak dilakukan pengolahan tanah   yang membuat lahan lebih peka terhadap erosi. Hutan dalam kondisi yang tidak terganggu juga lebih tahan terhadap kekeringan sehingga tidak mudah terbakar.

Pembangunan kebun kelapa sawit yang dilakukan dengan mengkonversi hutan alam, selain merusak habitat hutan alam yang berarti menghancurkan seluruh kekayaan hayati hutan yang tidak ternilai harga dan manfaatnya, juga akan merubah landscape hutan alam secara total.  Proses ini apabila tidak dilakukan dengan baik (dan biasanya memang demikian) akan berdampak pada kerusakan seluruh ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berada dibawahnya.  Dampaknya, antara lain adalah meningkatnya aliran permukaan (surface runoff), tanah longsor, erosi dan sedimentasi. Kondisi ini semakin parah, apabila pembersihan lahan (setelah kayunya ditebang) dilakukan dengan cara pembakaran.

Dalam setiap perkebunan yang dikelola secara intensif, rumput dan tumbuhan bawah secara menerus akan dibersihkan, karena akan berperan sebagai gulma tanaman pokok.  Dilain pihak, rumput dan tumbuhan bawah ini justru berperan sangat penting untuk mengendalikan laju erosi dan aliran permukaan.  Keberadaan pepohonan yang  tanpa diimbangi oleh pembentukan serasah dan tumbuhan bawah justru malah meningkatkan laju erosi permukaan. Mengingat energi kinetik tetesan hujan dari pohon setinggi lebih dari 7 meter justru lebih besar dibandingkan tetesan hujan yang jatuh bebas di luar hutan. Dalam kondisi ini, tetesan air tajuk (crown-drip) memperoleh kembali energi kinetiknya sebesar 90% dari enerji kinetik semula, disamping itu butir-butir air yang tertahan di daun akan saling terkumpul membentuk butiran air (leaf-drip) yang lebih besar, sebingga secara total justru meningkatkan erosivitas hujan.

Pembangunan perkebunan memerlukan pembangunan jalan, dari jalan utama hingga jalan inspeksi, serta pembangunan infrastruktur (perkantoran, perumahan), termasuk saluran drainase. Kondisi ini apabila tidak dilakukan dengan baik (lagi-lagi biasanya memang demikian) akan berdampak pada semakin cepatnya air hujan mengalir menuju ke hilir. Implikasinya, peresapan air menjadi terbatas dan peluang terjadinya banjir dan tanah longsor akan meningkat.

Di lain pihak, pohon kelapa sawit sebagai pohon yang cepat tumbuh (fast growing species) dikenal sebagai pohon yang rakus air, artinya pohon ini memiliki laju evapotranspirasi (penguap-keringatan) yang tinggi. Setiap pohon sawit memerlukan  20 – 30 liter air setiap harinya. Dengan demikian konversi hutan alam menjadi perkebunan kelapa sawit dapat mengurangi ketersediaan air khususnya di musim kemarau. Sumber-sumber air di sekitar kebun kelapa sawit terancam lenyap, seiring dengan pertambahan luas dan bertambahnya umur pohon kelapa sawit.

 

Penutup

Memperhatikan dampak lingkungan konversi hutan alam menjadi perkebunan sawit sebagaimana tergambar di atas, kemudian memperhatikan banyaknya kasus penebangan hutan alam dengan kedok pembukaan kebun kelapa sawit sebagaimana dilaporkan terjadi di Kabupaten Konawe (Kendari Pos, 21 Februari 2006), sudah saatnya pemerintah daerah perlu ekstra hati-hati dalam menerbitkan ijin konversi hutan alam menjadi perkebunan kelapa sawit. Terbitnya Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. S.599/Menhut-VII/2005 tertanggal 12 Oktober 2005 tentang Penghentian/Penangguhan Pelepasan Kawasan harus menjadi rujukan utama dalam pengambilan keputusan.

Memperhatikan melimpahnya sumberdaya lahan dan semakin menyusut dan langkanya hutan alam, pembangunan perkebunan kelapa sawit seharusnya tidak lagi dilakukan dengan cara mengkonversi hutan alam. Masih tersedia sumberdaya lahan yang maha luas dan tidak produktif menunggu sentuhan investasi. Sudah saatnya pembangunan tidak sekedar mengejar pertumbuhan, namun harus menjunjung tinggi kelestarian lingkungan.  Investasi yang dilakukan tidak tepat sasaran sudah banyak terbukti merusak lingkungan, bahkan merusak kehidupan. Jangan biarkan darah dan airmata serta dana terbuang percuma karena kesalahan pengambilan keputusan! 

Posted by: epurwanto | April 21, 2008

Menyatu-hatikan Pembangunan dan Pelestarian Hutan

6. Menyatu-hatikan Pembangunan dan Pelestarian Hutan 

 

 

Yang dimaksud sebagai ‘pembangunan’ disini adalah kebijakan pembangunan pemerintah (baik pusat maupun daerah) dan pelaksanaannya yang secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap penatakelolaan sumberdaya hutan (forest governance) di suatu wilayah.

 

Di tengah derasnya semangat pengarusutamaan (mainstreaming) isu pembangunan berkelanjutan, sesuai kesepakatan global dalam konferensi di Rio de Janeiro, Brasil dan Johannesburg, Afrika Selatan. Hingga saat ini, konservasi sebagai mindset pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan, masih belum menjadi ‘way of life’ pembangunan. Di tataran nasional, bahkan ditengarai bahwa isu pembangunan berkelanjutan dalam pengambilan kebijakan semakin kabur (Kompas, 29 Desember 2005). Memahami kondisi seperti ini, tidaklah aneh apabila di berbagai penjuru wilayah negeri ini  (tidak semata di Kabupaten Buton), masih banyak dijumpai konflik kepentingan antara pembangunan dengan pelestarian hutan.

 

Pembangunan dan konservasi selayaknya dapat diibaratkan sebagai permukaan bagian atas dan bawah sebuah daun, walau warnanya kadang berbeda, namun apabila digigit sama rasanya. Di tataran teoritis, dan ini sudah menjadi hafalan banyak orang,  selalu ditekankan bahwa ‘pembangunan harus berwawasan lingkungan’ yang berarti bahwa pembangunan dan konservasi harus berjalan bersama.  Namun di tataran praktis, karakter pembangunan yang terlalu mengutamakan efek ‘kekinian’, telah membuat ‘wawasan lingkungan’ sering tersingkir jauh kebelakang. Implikasinya, kebijakan pembangunan dan pelaksanaanya justru sering menimbulkan tekanan (pressure/kerusakan) maupun ancaman (treta/potensi kerusakan) terhadap kerusakan hutan. 

 

Berikut ini diuraikan beberapa kebijakan pembangunan yang semuanya didasari oleh pertimbangan mulia, namun apabila pelaksanaannya tidak dikelola dengan baik, bisa menjadi sumber tekanan dan ancaman yang luar biasa terhadap Hutan Lambusango. 

 

Pemekaran Kabupaten Buton

 

Pemekaran wilayah telah menjadi semacam mainstream era otonomi daerah saat ini.  Berbagai ide dan usulan tentang pemekaran wilayah tak habis-habisnya digulirkan, bahkan dari wilayah yang sebenarnya potensi sumberdaya, jumlah penduduk dan posisi geografisnya tidak memenuhi syarat pemekaran. Disadari bahwa pemekaran   merupakan upaya penting dalam pengembangan potensi wilayah, memperpendek rentang kendali pemerintah, serta mendekatkan masyarakat terhadap pelayanan. Namun dampaknya terhadap kelestarian hutan sering luput dari perhatian.

 

Sebelum dimekarkan, Kabupaten Buton seluas ± 6.852,86 km2, wilayahnya diturunkan dari wilayah swapraja Kesultanan Buton. Sebelum tahun 1960, kesultanan ini meliputi pulau-pulau utama Buton, Muna dan Kabaena, dan Tukang Besi (sekarang Wakatobi) serta dua daerah di bagian tenggara Pulau Sulawesi (Rumbia dan Poleang).  Pada tahun 1960, kesultanan yang berusia lebih dari empat abad itu dibubarkan dan wilayah kesultanan tersebut dibagi menjadi dua kabupaten yang sepenuhnya dimasukan ke dalam wilayah Indonesia.  Kabupaten Muna terletak di utara Muna dan Buton, dan Kabupaten Buton meliputi bagiab-bagian lain dari bekas wilayah kesultanan.

 

Pemekaran wilayah dimulai sejak tahun 2001, perubahan status Kota administratif Bau-Bau menjadi Kota Bau-Bau (61.110 ha) yang terpisah dari Kabupaten Buton (Undang-Undang No. 13 Tahun 2001).

 

Pada tahun 2003, melalui Undang-Undang No 29 Tahun 2003, Kecamatan Rarowatu, Rumbia, Kabaena Timur, Kabaena, Poleang Timur, dan Poleang masuk wilayah Kabupaten Bombana  (± 3.001 km2) yang terpisah dari Kabupaten Buton. 

 

Pada tahun 2003, melalui Undang-Undang No 29 Tahun 2003, Kepulauan Tukang Besi (Kecamatan Wangi-Wangi, Wangi-Wangi Selatan, Kaledupa, Tomia, dan Binongko) yang sejak tahun 1996 menjadi Taman Nasional Wakatobi, ditetapkan menjadi Kabupaten Wakatobi (± 55.954 km) dan terpisah dari Kabupaten Buton.

 

Seluruh kabupaten baru hasil pemekaran tersebut (kecuali Kabupaten Wakatobi)  secara kasar memiliki potensi sumberdaya alam dan daya tarik ekonomi yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan Kabupaten Buton saat ini. Kabupaten Bombana memiliki lahan pertanian intensif yang luas. Kota Bau-Bau merupakan kota transit dan perdagangan terkemuka di Kawasan Timur Indonesia. Dengan demikian, pemekaran wilayah tersebut jelas berdampak pada menyusutnya sumber-sumber ekonomi yang bisa diolah menjadi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Buton.

 

Dari sisi sumberdaya hutan: semula, selain Hutan Lambusango dan hutan-hutan jati, Kabupaten Buton juga memiliki hutan alam di Bombana. Pertanian: semula Kabupaten Buton memiliki sawah yang luas di Bombana. Wisata alam: Kabupaten Buton telah kehilangan Wakatobi sebagai wisata bahari kelas dunia, setara dengan Bunaken. Penilaian ini, sekali lagi hanya berdasarkan hitungan kasar saat ini. Kabupaten Buton sendiri disadari memiliki berbagai potensi sumberdaya alam yang belum sepenuhnya tergarap, sebagaimana  kawasan Basilika (Batauga, Siompu, Liwutongkidi dan Kadatua) yang berpotensi sebagai kawasan wisata bahari sebagaimana Wakatobi.  

 

Dengan semakin menyusutnya pilihan saat ini, Hutan Lambusango jelas akan menjadi salah satu sumber pemenuhan PAD Kabupaten Buton. Pilihan ini tentunya syah-syah saja, mengingat salah satu fungsi hutan adalah menyediakan kebutuhan hidup manusia. Yang perlu diperhatikan adalah terbangunnya penata-kelolaan hutan yang baik, yang mampu menjamin pengambilan manfaat secara lestari. Untuk itu, seluruh sistem pengelolaan hutan dari perencanaan hingga pengawasan harus berjalan dengan baik dan efektif. Hutan Lambusango yang merupakan hutan alam daerah kapur memiliki ekosistem yang sangat rapuh, sekali hutan ini rusak, akan memerlukan waktu ratusan tahun untuk memulihkannya.

 

 

Pembangunan Infrastruktur  

 

Pemekaran wilayah sudah tentu memberikan implikasi pada meningkatnya pembangunan  sarana dan prasarana. Denyut nadi pembangunan di kawasan ini terasa bergerak cepat setelah pemekaran wilayah.  

 

Pada tahun 2003, melalui Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2003,  Ibukota Kabupaten Buton dipindah ke Pasarwajo, sebuah kota kecamatan yang berjarak 42 km dari Kota Bau-Bau. Pembangunan berbagai sarana dan prasarana sedang dilakukan untuk membuat Pasarwajo lebih layak menjadi ibukota kabupaten. Kini rumah dinas Bupati  telah berdiri, perkantoran dan perumahan dinas sedang dibangun dan jalan poros yang menghubungkan Kota Bau-Bau dan Pasarwajo sedang dibenahi agar lebih nyaman dan waktu tempuhnya bisa semakin cepat. 

 

Kota Bau-Bau yang memiliki posisi geografis yang sangat strategis di jalur pelayaran nasional, setelah berpisah dari Kabupaten Buton, terus membangun berbagai infrastruktur menuju kota dagang, jasa, industri, pariwisata dan pendidikan. Kota Bau-Bau berambisi menjadi pusat perdagangan bagi Kawasan Timur Indonesia dan menjadi Kota Kembar Surabaya. Sebuah perkantoran baru yang megah kini sedang dibangun di kawasan Sambali, sedangkan sebuah pertokoan besar (Umna Wolio Plaza) telah berdiri.

 

Pertanyaannya, darimana sebagian besar kayu bahan bangunan tersebut berasal? Jawabannya pasti dari Hutan Lambusango. Posisi Hutan Lambusango yang berada diantara segitiga pertumbuhan  Bau-Bau, Pasarwajo, Wanci serta sebagai satu-satunya hutan alam merupakan daya tarik  besar bagi para illegal logger . Masalahnya semakin pelik, apabila melihat ketimpangan antara supply dan demand  pemenuhan kebutuhan kayu di kawasan ini.  Sebagai ilustrasi, jatah tebangan Kabupaten Buton pada tahun 2004 adalah 876 m3 log (sekitar 438 m3 kayu gergajian). Pada waktu itu Kabupaten Buton memiliki 165 desa, dengan asumsi bahwa setiap desa perlu membangun 5 rumah baru setiap tahunnya, kemudian setiap rumah rata-rata memerlukan 5 m3 kayu gergajian, maka akan diperlukan kayu sebesar 4.125  m3 kayu gergajian (165x5x5 m3). Artinyai kayu legal  hanya memenuhi sekitar 10 persen kebutuhan. Pertanyaannya sisanya yang 90 persen dipenuhi dari mana? Padahal proyek pembangunan sarana-prasarana fisik di Bau-Bau, Pasarwajo dan Wanci jelas memerlukan kebutuhan kayu yang jauh lebih besar dari kebutuhan domestik masyarakat Kabupaten Buton.

 

Memperhatikan kondisi sebagaimana tergambar di atas, serta memperhatikan kerusakan Hutan Lambusango yang terus meningkat dari detik ke detik, maka upaya pelestarian Hutan Lambusango hanya dapat dilakukan apabila seluruh kebutuhan kayu dalam jumlah besar sebagaimana pembangunan ‘mega’ proyek yang terjadi saat ini, perlu mendatangkan kayu dari luar Pulau Buton (setidaknya dari luar Hutan Lambusango). Pada saat yang sama, jangan sampai sumber kayu di Buton yang sudah amat terbatas diambil untuk keperluan luar pulau. Untuk itu diperlukan pengawasan ekstra ketat terhadap lalu-lintas angkutan kayu dari Hutan Lambusango ke wilayah sekitarnya (Wakatobi, Nusa Tenggara Timur dsb.).

 

Program Transmigrasi

 

Pulau Buton memiliki potensi lahan pertanian produktif yang amat terbatas. Kondisi fisiografi wilayahnya yang bertopografi berat (bergelombang, berbukit dan bergunung), berbatu dengan tanah yang tipis membuat sebagian wilayah pulau ini memiliki tingkat kesesuaian lahan yang rendah untuk pengembangan pertanian semusim secara intensif. Sumberdaya lahan Pulau Buton hanya sesuai untuk tanaman keras seperti jambu mete, coklat dan kopi. Kondisi alam seperti ini rupanya telah membuat Orang Buton sejak dahulu dikenal sebagai suku perantau. Namun ironisnya, Pulau Buton, khususnya wilayah sekitar Hutan Lambusango hingga kini masih terus menjadi penerima  transmigran dari luar Pulau. Kondisi ini jelas memberikan beban tekanan dan ancaman yang semakin berat terhadap kelestarian Hutan Lambusango.

 

Program transmigrasi di sekitar Hutan Lambusango dimulai sekitar tahun 1989 di daerah Lasalimu Selatan. Pemerintah membangun tiga satuan pemukiman (SP) bagi transmigran asal Pulau Jawa. Pemukiman di wilayah ini kemudian berkembang pesat setelah kerusuhan Ambon tahun 1999. Pemerintah Kabupaten Buton membangun tiga satuan pemukiman [Desa Mulia Jaya (SP 6), Harapan Jaya (SP 7) dan Sangia Arano (SP 8)] untuk menampung pengungsi Ambon yang dulunya berasal dari Buton.  Satuan pemukiman ini dibangun pada kawasan hutan sekunder (Hutan Konversi) bekas penebangan PT. Wira Caraka dan PT Agronata. Pada akhir tahun 2004, satuan pemukiman baru dibangun di Desa Barangka, Kecamatan Kapontori. 

 

Kini, ada sekitar 11 satuan pemukiman baru yang berbatasan wilayah dengan Hutan Lambusango. Ditambah dengan desa lama yang berjumlah sekitar 22 buah, maka Hutan Lambusango kini sudah benar-benar terhimpit. Memberhatikan kondisi seperti ini, sudah saatnya wilayah sekitar Hutan Lambusango ini ditutup bagi program transmigrasi!

 

Kenaikan harga bahan bakar minyak

 

Kenaikan harga BBM, khususnya minyak tanah yang mencapai 186 % (dari Rp. 700 menjadi Rp. 2000) sejak 1 Oktober 2005, sungguh menjadi beban yang amat berat bagi masyarakat, lebih-lebih masyarakat di sekitar hutan.

 

Pak Otto Soemarwoto (guru besar dari Universitas Padjadjaran) pernah menyampaikan ide yang cukup menarik, memahami kegagalan program reboisasi dan penghijauan pada awal tahun 1980-an, beliau  menyarankan bahwa program reboisasi tersebut sebaiknya dihentikan saja. Sebagai gantinya masyarakat di sekitar hutan disubsidi dengan bahan bakar padat energi (minyak tanah). Ketersediaan minyak tanah dengan harga murah diharapkan dapat menngendalikan laju kerusakan hutan, karena konsumsi masyarakat terhadap kayu bakar akan menurun, sehingga memberikan ruang dan waktu bagi hutan untuk ‘bernafas’. Kenyataannya kini yang terjadi adalah sebaliknya, bukannya masyarakat sekitar hutan mendapat subsidi khusus, melainkan mereka harus membeli minyak dengan harga sangat tinggi dan bahkan umumnya relatif lebih tinggi dengan harga minyak disekitar perkotaan.  Kondisi ini jelas akan berpengaruh terhadap semakin tingginya kerusakan hutan. 

 

Kenaikan harga minyak tanah telah membuat sebagian masyarakat ekonomi menengah kebawah di perkotaan kembali menggunakan kayu bakar, sehingga kebutuhan akan kayu bakar meningkat. Kondisi ini telah menggairahkan denyut nadi ekonomi masyarakat sekitar hutan. Kini begitu mudah dilihat adanya tumpukan kayu-kayu bakar di setiap ujung jalan masuk hutan yang siap diangkut ke kota. Sayangnya hutan alam masih menjadi satu-satunya tumpuhan sumber kayu bakar, sehingga dengan semakin tingginya permintaan, pengambilan kayu bakar ini kelak bisa menjadi ancaman yang serius pula bagi kerusakan hutan.

 

Program Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan) yang terhitung sukses di Kabupaten Buton dengan menggalakkan minat masyarakat untuk menanam jati lokal (Tectona grandis) dan jati putih (Gmelina arborea), seyogyanya dapat mulai memfasilitasi pembangunan percontohan hutan kayu bakar.  Pembangunan hutan tanaman dengan jenis pohon cepat tumbuh dan multi-guna seperti gamal (Glirisidia sepium), petai (Leucaena leucocephala) pada lahan-lahan kritis di sekitar hutan dapat menjadi peredam terhadap tingginya permintaan kayu bakar sebagai dampak kenaikan harga minyak tanah.

 

Pertambangan Asphalt

 

Pulau Buton telah lama dikenal sebagai pulau asphalt. Sebuah pelabuhan besar telah dibangun sejak jaman Belanda di Teluk Pasarwajo yang diperuntukan khusus untuk pengangkutan asphalt dari wilayah Kabongka dan sekitarnya.  Di jaman kejayaannya, transportasi asphat dari Kabongka ke Pasarwajo (berjarak ± 20 km) dilakukan dengan kereta gantung (cable-band).  Kini yang masih tersisa adalah pelabuhan asphalt, sedangkan kereta gantung sejak akhir tahun 1970-an sudah tidak berfungsi lagi.

 

Eksploitasi asphalt (bitumen) telah dimulai sejak tahun 1938, menyusul  laporan Hetzel (1936), seorang ahli geologi Belanda, yang melaporkan tingginya kandungan bitumen di Pulau Buton.  Pertambangan asphalt yang berlangsung hingga saat ini, sebagaimana di Blok Kabongka (Kecamatan Pasarwajo) dan Nambo (Kecamatan Lasalimu) sepenuhnya masih mengikuti hasil temuan Hetzel (1936). 

 

Beberapa pergantian manajemen telah berlangsung sejak awal eksplotasi.  Berawal dari Perusahan Belanda, kemudian beralih ke Buton Asphalt (Butas), lalu Perusahaan Asphalt Negara (PAN) hingga ke PT Sarana Karya. Produksi asphalt Buton sempat turun pamor, pada saat harga minyak dunia turun, namun dengan meroketnya harga minyak dunia saat ini, eksploitasi asphalt alam mulai banyak dilirik. Kondisi ini membuat banyak investor mulai bergairah kembali untuk melakukan penanaman modal dalam penambangan asphalt.  

 

Dari sebuah situs internet (hhtp://notice.singtao.com/ADMA%5C0766%5Cepdf/19483-Sino%/19483-Sino%20Prosper%20Ann-E.pdf.), akhir-akhir ini diberitakan bahwa sebuah perusahaan dari Cina (Sino Prosper) telah melakukan persetujuan kongsi (Joint Venture Agreement) dengan perusahaan Indonesia, dimana kongsi ini telah mendapatkan dukungan (letter of support) dari BAPPENAS. Kongsi tersebut berencana akan mengeksplotasi asphalt (bitumen) Pulau Buton dengan melakukan penanaman modal awal sebesar US$ 5,000,000 (sekitar 50 milliar rupiah).  Berdasarkan sumber ini, kongsi tersebut akan  mebuka tambang bitumen dengan ukuran panjang 60-70 km, lebar 10-15 km. 

 

Sumber berita internet tersebut selain belum pasti kebenarannya, juga tentunya masih dalam tahap rencana.  Namun apabila rencana tersebut benar, maka areal pertambangan tersebut jelas akan memotong sebagian (besar) dari Hutan Lambusango.  Dalam kondisi semacam ini, Hutan Lambusango  bukan hanya akan mengalami kerusakan, namun akan mengalami kehancuran, mengingat penambangan bitumen yang dilakukan secara terbuka tersebut direncanakan hingga kedalaman 1 km.

 

Di era otonomi, Pemerintah Kabupaten Buton memiliki posisi tawar yang cukup tinggi untuk memanfaatkan potensi wilayahnya secara bijaksana. Di lain pihak pemanfaatan dan pelepasan kawasan hutan negara hingga saat ini masih menjadi domain Departemen Kehutanan, maka dalam setiap kegiatan penambangan yang berada di kawasan hutan negara harus berkoordinasi dengan Departemen Kehutanan. Untuk itu, di tataran pemerintah pusat, koordinasi antara Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral dan Departemen Kehutanan harus ditingkatkan, demikian pula koordinasi antara Dinas Pertambangan dan Dinas Kehutanan di Kabupaten Buton.

 

Penataan Ruang

 

Kebutuhan terhadap ruang secara dinamis terus meningkat, di lain pihak ketersediaan ruang (lahan) relatif  tetap. Kondisi ini memberikan implikasi terhadap tingginya konflik kepentingan terhadap sumberdaya lahan. Kondisi ini memberikan tekanan yang luar biasa  terhadap keberadaan hutan. Hutan alam yang letaknya terpencil, dengan batas-batas hutan yang tidak jelas, serta minimnya pengawasan telah membuat ekosistem ini dalam kondisi open-access, artinya terbuka bagi semua pihak yang memiliki kekuatan.  

 

Disadari bahwa kita sedang menghadapi dilema yang pelik, jumlah penduduk terus meningkat, sedangkan pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan pekerjaan harus ditopang dengan suntikan investasi. Dengan semakin menipisnya pilihan sumberdaya, maka konversi hutan alam untuk kepentingan pembangunan sering tidak dapat dihindarkan. Di lain pihak, keberlangsungan pembangunan memerlukan jaminan keamanan lingkungan, dan hal ini hanya bisa ditopang oleh kehadiran dan kelestarian fungsi hutan.

 

Memperhatikan kondisi sebagaimana terurai di atas, penataan ruang memegang kunci strategis untuk mengakomodasi berbagai kepentingan secara bijak. Pembangunan  harus memperhatikan kelestarian hutan, di lain pihak gerakan pelestarian alam harus mengakomodasi kepentingan pembangunan. Untuk mencapai win-win solution, keduanya harus saling membuka diri, duduk dalam satu meja untuk memetakan kepentingan masing-masing, dengan harapan dapat dicapai sebuah kesepakatan, yaitu bagaimana mereka bisa saling berjalan tanpa harus saling menganggu.

 

Memperhatikan tingginya peran penataan ruang, maka lembaga penataan ruang harus bersifat terbuka. Penataan ruang tidak lagi bisa dilakukan secara sepihak oleh pemerintah. Penataan ruang harus disusun secara bersama melibatkan seluruh pemangku kepentingan.  Proses penataan ruang selain harus dilakukan secara partisipatif juga harus berdasarkan  inventarisasi potensi sumberdaya alam secara komprehensif.  Dan yang tidak kalah penting, di era otonomi daerah saat ini penataan ruang harus mampu menyamakan visi dan kepentingan dalam pengelolaan sumberdaya alam secara bersama antara pemerintah Kabupaten Buton dan Kota Bau-Bau.  

 

Sungguh masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan untuk mensinergikan, mengharmoniskan dan menyatu-hatikan antara pembangunan dan pelestarian hutan!

 

Posted by: epurwanto | April 21, 2008

Gerakan Menabung Air Melalui Pembangunan Sejuta Resapan

5. Gerakan Menabung Air Melalui Pembangunan Sejuta Resapan

 

 

‘Dengan intensitas hujan ekstrem yang sering terjadi di Indonesia, penutupan apapun (termasuk hutan) sering tidak mampu menahan terjadinya banjir dan tanah longsor.  Diperlukan gerakan masal menabung air melalui pembangunan sejuta resapan yang memberikan dampak penampungan dan pengendalian secara cepat’

 

Ada tiga hal yang mempengaruhi tingginya laju kerusakan lahan di Indonesia, pertama adalah energi, kedua adalah resistensi dan ketiga adalah proteksi.  Dari segi energi, kerusakan begitu cepat oleh tingginya intensitas hujan, dengan intensitas hujan yang tinggi, maka  sebagian besar air hujan yang jatuh hampir tidak dapat diselamatkan, karena sebagian besar akan secara cepat mengalir ke sungai dan kemudian terbuang ke laut. Kondisi ini juga diperparah oleh pendeknya sungai-sungai di Indonesia yang rata-rata hanya sepanjang 250 km, pendeknya sungai juga membatasi penggunaan sumberdaya air untuk berbagai keperluan.  Selanjutnya, tanah yang memiliki resistensi yang rendah (erodibilitas tingi), sehingga laju erosi umumnya sangat tinggi, demikian pula laju sedimentasi. 

 

Kondisi ini semakin lengkap bila dilihat oleh lemahnya proteksi, tingginya kepadatan penduduk, kurangnya kepedulian terhadap lingkungan dan perubahan yang begitu cepat, yang secara keseluruhan tidak sebanding dengan resiliensi (daya lenting) ekosistem alam untuk mencapai keseimbangan baru.

 

Tingginya Intensitas Hujan

 

Curah hujan harian tertinggi di Indonesia yang pernah tercatat selama ini adalah setebal 702 mm (terjadi di Ambon), curah hujan yang terjadi di Bogor pada tanggal 29, 30 dan 31 Januari 2002, pada saat banjir di Jakarta tercatat setebal 380 mm, sedangkan di Jakarta pada waktu itu curah hujan hingga setebal 420 mm. Curah hujan bulanan rata-rata tahunan (musim hujan dan kemarau) setebal 350 mm. Sedangkan curah hujan bulanan rata-rata di musim hujan adalah setebal 450 mm. Dengan demikian hujan yang terjadi selama tiga hari itu hampir setara dengan hujan yang turun selama satu bulan di musim hujan biasa. Bisa dibayangkan curahan air yang harusnya terdistribusi dalam waktu 30 hari, tercurah sontak selama 3 hari !

 

Menghadapi kondisi ekstrem semacam ini, apapun penutupan lahannya tidak akan mampu membendung luapan aliran permukaan, karena curahan air benar-benar telah melampaui kapasitas maksimum tanah memegang air (water holding capacity). Dalam kondisi tersebut, penutupan lahan sebaik apapun tidak akan berdaya mengusir datangnya banjir !

 

 

 

Hutan dan Banjir

 

Berdasarkan berbagai penelitian pada Daerah Aliran Sungai (watershed/catchment area) berukuran kecil (kurang dari 25 km2) menunjukkan bahwa hutan hanya mampu mengendalikan banjir yang ditimbulkan oleh hujan berintensitas rendah sampai sedang (< 100 mm/hari). Perbandingan respon aliran permukaan terhadap hujan, antara wilayah non-hutan (pertanian semusim) dan wilayah yang hutannya masih utuh adalah sebagai berikut: Untuk curah hujan dengan intensitas rendah (Sekitar 15 mm/jam), peningkatan aliran langsung (Qf) dan debit puncak banjir (Qp) dari kawasan non-hutan (dibandingkan hutan, yang masih utuh) adalah sebesar satu setengah hingga dua kali lipat. Untuk intensitas hujan sedang (15-30 mm/jam), Qf dan Qp meningkat sekitar setengahnya,  sedangkan untuk intensitas hujan besar (sekitar 75 mm) Qf dan Qp meningkat antara sepersepuluh hingga seperempatnya, sedangkan pada hujan ekstrim Qf dan Qp hanya meningkat kurang dari sepersepuluh debit puncak banjir semula. Mengingat semakin besar intensitas curah hujan, semakin melampaui keterbatasan hutan untuk menahan laju air, sehingga pada saat terjadi hujan yang sangat ekstrim dimungkinkan besarnya banjir adalah sama antara wilayah berhutan dan tidak berhutan.

 

Dengan demikian dapat dipahami, mengapa suatu DAS yang penutupan hutannya masih baik juga tidak 1uput dari kunjungan banjir. Contohnya DAS Batanghari, pada tahun 1950-an terjadi banjir besar yang diduga sama atau mungkin lebih besar daripada banjir bandang yang terjadi pada tahun 1991. Padahal pada tahun tersebut penutupan hutannya tentu masih cukup baik. Kemudian banjir bandang di Banyumas pada tahnn 1861, sebagaimana yang dilaporkan oleh majalah dua mingguan berbahasa Belanda Java Bode (Overstrooming te Banyumas den 21 tot 23 February, 1861). Di majalah tersebut, antara lain dilaporkan bahwa banjir yang terjadi pada tanggal 22 Pebruari 1861 dipicu oleh hujan besar yang terjadi secara terus-menerus selama tiga hari. Dari Yogyakarta dilaporkan bahwa antara jam empat pagi hingga malam hari pada tanggal tersebut, terjadi hujan sangat ekstrim hingga mencapai ketebalan sekitar 600 mm, kemudian di sekitar dataran tinggi Dieng antara tanggal 19 hingga 23 Pebruari juga tercatat hujan tidak kurang dari 1.000 mm. Pada saat kejadian banjir, tinggi muka sungai Serayu pada jam lima sore mulai meningkat dengan cepat, kemudian banjir mulai meluap sekitar jam sepuluh malam yang menyebakan penggenangan air hingga 10 meter di wilayah Banyumas.

 

Wilayah Jawa selatan (termasuk Banjarnegara yang baru mengalami musibah tanah longsor) memang sering dilanda banjir sejak jaman tempo doeloe, hal ini antara lain dapat ditelusuri dari salah satu tembang yang melukiskan adanya ikan kecil (Uceng) yang menempel di bunga pohon kelapa (Manggar) [Wartono Kadri, Kom Prib, 2002].

 

Apabila proses dehutanisasi meliputi wilayah yang luas (lebih besar 30 persen luas hutan dari DAS) sebagaimana yang terjadi pada peristiwa banjir di wilayah Riau dan Sumatra Barat, Jambi, Riau pada 1991/1992, juga Jember, Manado, Jakarta, Pantai Utara Jawa, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat sebagaimana akhir-akhir ini, terbatasnya kapasitas peresapan tanah mengakibatkan kenaikan debit puncak banjir dari sebagian besar Sub DAS yang bermuara pada sungai besar di wilayah hilir, dalam kasus ini deforestasi atau kerusakan penutupan lahan memang menjadi penyebab yang sama dominannya dengan faktor-faktor penyebab banjir lainnya (intensitas hujan dan sebagainya).

 

Pembangunan Sejuta Resapan

 

Perlu. diingat, kegiatan restorasi penutupan lahan seperti reboisasi dan penghijauan juga. tidak mampu secara cepat mengendalikan penurunan laju banjir dan sedimentasi di wilayah hilir. Lihat saja kasus di China, untuk mengurangi 30 persen debit puncak banjir dan hasil sedimen dari DAS seluas 100.000 km2, diperlukan waktu selama 20 tahun. Hal tersebut disebabkan oleh tingginya beban sedimen yang mempersempit volume sungai, yang berasal dan proses erosi dari kurun waktu sebelumnya. Karena itu bisa dipahami, kalau besarnya laju sedimen yang terukur di outlet suatu DAS sering tidak berkorelasi dengan berbagai perbaikan ataupun perusakan di wilayah hulu, mengingat besarnya temporary storage sediment yang berada di sekitar pengaliran. Timbunan sedimen ini, bisa terangkut ke hilir dalam waktu beberapa jam, maupun beberapa puluh tahun kemudian, bergantung proses pengendapan yang terjadi maupun aliran pengangkutnya.

 

Keberhasilan hutanisasi dan penghijauan di wilayah hulu, jelas tidak memberikan dampak secara cepat terhadap penurunan laju sedimentasi di wilayah hilir, sebagaimana anggapan banyak pihak selama ini. Diperlukan jangka waktu setidaknya sepuluh tahun untuk mengevaluasi tingkat keberhasilan kegiatan tersebut, terhadap penurunan banjir dan sedimentasi, serta pengendalian kekeringan. 

 

Dengan demikian diperlukan gerakan masal menabung air melalui pembangunan sejuta resapan yang memberikan dampak penampungan dan pengendalian secara cepat, misalnya pembangunan dan atau revitalisasi danau-danau besar, danau-danau kecil (embung), dam penahan, dam pengendali, sumur resapan dan sebagainya selain kegiatan restorasi hutan itu sendiri!

Posted by: epurwanto | April 21, 2008

Mencegah Bencana Lingkungan Buatan Manusia

4. Mencegah Bencana Lingkungan Buatan Manusia

 

 

Sifat dasar orangtua, apapun posisi sosialnya, adalah mencintai dan membangun masa depan anak-anaknya. Kesuksesan mereka tidak ditentukan oleh kekayaan materiil yang dapat diwariskan kepada anak-anaknya, namun lebih ditentukan oleh keberhasilannya membangun kehidupan yang lebih baik bagi generasi mendatang. Orangtua akan bahagia, apabila berhasil mengantarkan anak-anaknya ke gerbang kehidupan yang lebih sejahtera. Sebaliknya, betapa nestapanya orangtua, apabila melihat anak-cucu mereka hidup sengsara, karena kondisi alam yang tidak lagi bersahabat.  

Tuhan telah memilih manusia sebagai khalifatullah (wakil Allah) yang ditugasi untuk mengurus bumi. Sebagai khalifatullah, manusia bertanggungjawab untuk menjaga eksistensi, keseimbangan dan keharmonian lingkungan hidupnya, termasuk eksistensi dan keharmonisan mahluk lain di luar dirinya.

Orangtua secara perlahan akan surut dan tugas hidupnya sebagai khalifatullah akan dilanjutkan oleh keturunannya. Sesuai dengan fitrahnya, seluruh makhluk hidup berkepentingan untuk mempertahankan  dan meningkatkan kualitas jenisnya, bahkan di dunia tumbuhan dan satwapun, Allah telah menciptakan berbagai perangkat dan mekanisme agar mereka mampu, bukan saja mempertahankan jenisnya, namun juga melahirkan generasi yang lebih baik.

Setiap orangtua yang baik akan begitu tulus mengorbankan jiwa dan raganya demi kesejahteraan keturunannya.  Bagi  orangtua, anak adalah sebuah masa depan, darinya orangtua memperoleh oasis kehidupan, darinya orangtua memperoleh energi hidup dari sebuah  sumur yang tanpa dasar. Mereka semua berjuang demi kesejahteraan  keturunannya.

 

Mendefinisikan Kesesejahteraan

 

‘Kesejahteraan’, atau ‘sejahtera’ adalah sebuah indikator (ukuran) kenikmatan hidup yang bersifat abstrak dan relatif. Indikator tersebut berbeda dari orang ke orang, karena  sangat ditentukan oleh kondisi ekonomi dan status sosial seseorang. Namun secara umum yang disebut ‘sejahtera’ adalah sebuah totalitas hidup yang berkualitas, didalamnya tidak saja terkandung dimensi ekonomi, namun juga religius, bukan saja jasmani melainkan juga rohani, bukan saja materiil melainkan juga immateriil. Dan yang paling penting dan tidak bisa diingkari dari suatu kondisi yang dapat dikatakan ‘sejahtera’ adalah terjaminnya kenyamanan, kesehatan dan keamanan lingkungan! 

 

Sebagai ilustrasi, sebuah keluarga yang kaya harta, tidak mungkin merasa sejahtera bila lingkungannya setiap tahun dilanda banjir. Di musim kemarau, udara kering dan panas luar biasa, sedangkan listrik untuk menghidupkan Air Condition (AC) di rumahnya lebih banyak mati, karena sumber air pembangkit listrik debitnya mengecil oleh semakin gundulnya hutan. Hatinya tidak tenang karena takut dilanda bencana, tanah longsor, banjir, serangan hama dan sebagainya.  Sebaliknya, keluarga petani yang miskin harta, mungkin dapat disebut lebih sejahtera, apabila dinaungi oleh hutan dan lingkungan yang indah-permai. Sawahnya subur dan hasil kebunnya melimpah. Mereka tidak perlu AC karena udara disekitar rumahnya masih segar dan nyaman. Sumber air selalu melimpah, bahkan dengan sedikit sentuhan teknologi, mereka bisa membuat listrik sendiri (energi mikro-hidro, sehingga tidak perlu kawatir terhadap kenaikan Tarif Dasar Listrik/TDL). Perasaan mereka tenang dan tenteram, karena alam masih sangat bersahabat.

 

Memperjuangkan Kesejahteraan  

 

Orang Buton dikenal sebagai suku perantau, pelaut-pelaut Buton telah menyebar keseluruh persada nusantara sejak berabad-abad lalu.  Namun, sebagaimana umumnya orang Buton, setinggi-tinggi bangau terbang akhirnya juga kembali ke tanah. 

 

Orangtua Buton berprinsip, anak-anaknya boleh merantau, tetapi jangan lupa dengan tanah tumpah darahnya. Ikatan tanah leluhur ini biasanya diwujudkan dengan membangun sebuah rumah di bumi moyangnya. ‘Merantaulah kemana saja nak, … tetapi jangan lupa, bangunlah rumahmu di tanah Buton,  kau boleh punya beberapa rumah ditanah seberang, tetapi bangunlah barang satu rumah dibumimu sendiri’ begitu kira-kira petuah orangtua Buton kepada anak-anaknya yang ada di rantau. 

 

Sebagaimana umumnya orangtua, seluruh orangtua menginginkan anak-anak mereka dapat hidup sejahtera di Pulau Buton. Katakanlah, walau anak-anak mereka tidak akan hidup di Buton, tetapi pada saat pulang kampung, mereka masih dapat menikmati kenyamanan dan keindahan Buton seperti yang dulu. Apalagi kalau hari tua anak-anaknya akan tinggal di Buton, maka orangtua berharap bahwa kenyamanan hidup yang mereka rasakan selama ini akan masih dinikmati oleh anak-anak, bahkan sampai cucu, dan cicit  mereka kelak.

 

Dengan semakin tingginya tekanan penduduk, tidakbisa dipungkiri bahwa kondisi lingkungan hidup di Pulau Buton secara perlahan terus berubah. Contoh yang paling kasat mata adalah rusaknya Taman Wisata Alam (TWA) Tirta Rimba (488 Ha). Taman wisata ini adalah satu-satunya tempat wisata berbasis hutan alam yang ada di Kota Bau-Bau. Kerimbunan pohon di wilayah ini memberikan kesejukan yang luar biasa ditengah panasnya Kota Bau-Bau. Sampai tahun 1999,  TWA yang sebagian lahannya berbukit dan berlereng terjal ini merupakan tempat yang ramai dikunjungi. Pengunjung bisa menikmati keindahan air jatuh (air terjun) selama ber-jam-jam, sambil makan jagung rebus. Namun seiring dengan kerusakan hutan oleh kegiatan pertanian intensif, kelimpahan air secara perlahan terus berkurang, hingga kini hampir tidak berbekas, selain bongkahan batu yang terkadang dialiri air. Keperkasaan hutan yang dulu pernah hadir melindungi lahan-lahan berbatu dengan kelerengan terjal selama ratusan, bahkan ribuhan tahun dan menyajikan keindahan yang dapat dinikmati oleh puluhan bahkan mungkin ratusan generasi sebelumnya kini telah sirna, menyisakan bongkahan batu-batu kapur yang gersang dan panas!

 

Kerusakan TWA Tirta Rimba harus menjadi pelajaran penting bagi siapapun yang merasa menjadi pemangku kepentingan Hutan Lambusango. Kerusakan dengan intensitas yang sama tidak menutup kemungkinan akan terjadi di Hutan Lambusango, apabila para pemangku kepentingan Hutan Lambusango tidak segera mengantisipasi semakin tingginya kerusakan hutan.

 

Seorang kakek yang tinggal di suatu desa disekitar Hutan Lambusango dengan berurai air mata menceritakan bagaimana tingkat kesejahteraan hidup mereka di masa tempo doeloe dibandingkan dengan jaman anak-anak dan cucu-cicitnya kini.

 

Dulu pada waktu hutan di wilayah kami masih rimbun,  sumber-sumber air disekitar sini sangat berlimpah. Di musim kemarau air sungai ini tingginya sepaha saya, namun kini tinggal semata kaki.  Di musim hujanpun air sungai tetap jernih dan tidak pernah terjadi banjir.  Kini setelah hutan di hulu sungai banyak ditebang, kami sering kekuarangan air, bahkan kami pernah dilanda banjir pada tahun 2002’.  Si Kakek-pun, kemudian melanjutkan ceritanya, ‘Hutan disini ditebang oleh pengusaha dari seberang, katanya mau dijadikan perkebunan kakao, tetapi setelah kayu-kayu yang besar-besar ditebang, pengusaha itupun raib, dan tidak sebatang kakao-pun pernah ditanam didaerah ini’. 

 

Bisa dipahami apabila para pemodal perusak hutan menutup mata terhadap kerusakan hutan, mengingat mereka umumnya adalah manusia-manusia berdaya yang secara ekonomi memiliki alternatif. Misalnya, apabila lingkungan hidup di Buton tidak lagi nyaman, mereka dengan mudah dapat pindah, apalagi kalau perusak hutan itu berasal dari seberang (luar Buton). Tidak demikian halnya bagi masyarakat yang kurang berdaya yang berada di sekitar hutan, mereka harus merasakan kepahitan lingkungan dan kemurkaan alam, walau mereka bisa jadi sama sekali tidak ikut ambil bagian dalam perusakan hutan.

 

Jaman keemasan Hutan Lambusango mungkin telah lewat, kerimbunan pepohonan  yang menjadi sumber kenyamanan, kesehatan dan keamanan lingkungan bisa jadi sudah dan akan menjadi semakin mahal seiring dengan kesadaran para pemodal yang melihat bahwa kerimbunan hutan merupakan mesin penghasil uang. Hutan Lambusango kini bukan lagi monopoli milik masyarakat yang hidup disekitarnya, yang pengaturannya diatur oleh lembaga adat macam ‘Kaombo’ atau ‘Sasi’ di masa tempo doeloe, melainkan Hutan Lambusango sudah menjadi milik kepentingan yang bisa jadi tidak terkait sama sekali dengan kebutuhan masyarakat setempat.

 

Sungguh, kenyamanan, kesehatan dan kesejahteraan lingkungan bagi masyarakat sekitar hutan kini, lebih-lebih di masa depan jelas tidak akan lagi diperoleh lagi secara melimpah ruah dan cuma-cuma sebagaimana tempo doeloe. Untuk memperolehnya masyarakat tidak bisa lagi hanya tinggal diam dan pasrah, mereka harus sadar bahwa hutan merupakan harta yang tidak ternilai bagi kesejahteraan anak-anak dan cucu-cicitnya di kemudian hari. Nilai harta itu tidak akan terbayar dengan hanya mendapatkan pekerjaan sesaat sebagai operator chain-saw atau kuli pengangkut kayu. Kesejahteraan anak-cucu dan cicitnya harus menjadi sesuatu yang tidak bisa ditawar, bahkan harus diperjuangkan!

 

Hutan Lambusango, sebagai satu-satunya hutan alam dataran rendah yang berada di jantung Pulau Buton, kini sedang dan mungkin terus akan menjadi ajang perebutan mereka yang lebih mementingkan kepentingan saat ini daripada saat nanti, lebih mengutamakan kepentingan generasi sekarang daripada generasi mendatang, lebih melihat kebutuhan orangtua dan keluarga saat ini, daripada kebutuhan anak, cucu dan cicitnya nanti.

 

Mencegah ‘Bencana Lingkungan Buatan Manusia’

 

Bisa dibayangkan betapa kering dan gersangnya Pulau Buton tanpa kehadiran Hutan Lambusango. Kerimbunan Hutan Lambusango yang menutupi pungung-pungung bukit dan lembah-lembah sungai yang umumnya terjal ini berperan sebagai pengendali erosi, sedimentasi dan banjir.  Kerusakan hutan akan berdampak pada kehancuran fungsi resapan air yang bukan saja berdampak pada ekosistem daratan melainkan juga berakibat pada rusaknya ekosistem perairan laut sekitar Pulau Buton. Kerusakan hutan akan berdampak pada tingginya sedimentasi perairan. Tingginya sedimentasi perairan laut akan merusak karang dan seluruh ekosistem laut yang ada disekitarnya.  Akibatnya bukan hanya hasil bumi yang merosot, melainkan kelimpahan sumberdaya baharipun (terumbu karang, ikan, rumput laut, kerang mabe dsb.) akan hancur seiring dengan kerusakan hutan.

 

Sayangnya mereka yang sedang terbuai rejeki emas hijau (kayu) dari Hutan Lambusango mungkin belum tahu bahwa nilai kayu sebenarnya hanya memiliki persentase yang sangat kecil apabila dibandingkan dengan kekayaan Hutan Lambusango secara keseluruhan. Berdasarkan berbagai penelitian tentang nilai ekonomis sumberdaya hutan, diketahui bahwa nilai kayu hanya sebesar 2 persen dari keseluruhan nilai intrinsik sumberdaya hutan.

 

Sungguh sayang, apabila demi mengambil nilai manfaat yang kecil harus merusak keseluruhan tatanan ekosistem. Walaupun kayu hanya bernilai kecil dibandingkan keseluruhan nilai hutan, namun kayu adalah penopang utama ekosistem hutan. Ekosistem hutan akan hancur, dan seluruh kekayaan yang luar biasa tersebut akan sirna seiring dengan lenyapnya kerimbunan pohon.  Ibarat hutan adalah sebuah pabrik rokok, maka tumbuhan berkayu adalah pabriknya. ‘Rokok’ ibaratnya adalah sumberdaya, manfaat atau fungsi hutan yang bisa diambil atau dinikmati. Agar sang pabrik dapat secara menerus memproduksi rokok berkualitas prima, masyarakat pemangku kepentingan Hutan Lambusango harus mengambil rokoknya saja, tanpa merusak pabriknya. 

 

Mereka yang sedang asyik merusak hutan (destructive logging), banyak juga yang mungkin belum tahu (atau bisa jadi pura-pura tidak tahu), bahwa kerimbunan hutan alam di Pulau Buton ini tercipta melalui proses suksesi (pertumbuhan hutan) yang sangat panjang dan memakan waktu ratusan bahkan ribuan tahun. Tidak  benar bahwa hutan alam merupakan sumberdaya yang terbarui (renewable resources), sekali hutan alam rusak hampir dapat dipastikan tidak akan pulih dan terbarukan!

 

Mungkin merekapun belum banyak tahu, bahwa ekosistem Hutan Lambusango memiliki nilai keragaman hayati endemik yang tinggi dan merupakan salah satu pewakil terbaik dari Zona Wallacea. Mereka bahkan lupa, bahwa Hutan Lambusango menjadi sumber air utama yang mereka minum setiap hari. Mereka mungkin lupa bahwa Hutan Lambusango menjadi sumber pembangkit listrik yang mendukung kenyamanan hidupnya setiap hari. Mereka lupa bahwa Hutan Lambusango memasok udara segar yang mereka hirup setiap detik.  Sungguh mereka lupa bahwa merusak Hutan Lambusango berarti menggali lubang bagi masa depan anak-cucunya nanti. Mereka lupa bahwa hutan adalah habitat dari ratusan bahkan mungkin ribuan jenis tumbuhan dan satwa yang diciptakan Tuhan untuk kepentingan manusia. Mereka lupa bahwa sebagai khalifatullah manusia berkewajiban  untuk menjaga eksistensi, keseimbangan dan keharmonian mahluk lain di luar dirinya!

 

Sebagai orangtua yang mencintai masa depan kehidupan anaknya, sudah saatnya untuk tidak menjemput rejeki dengan cara merusak hutan.  Bagi mereka yang sadar akan pentingnya kelestarian hutan sudah saatnya untuk bergandeng tangan untuk mencegah dan mengendalikan kerusakan Hutan Lambusango. Hutan memang diciptakan untuk manusia, hutan memang boleh diambil kayunya, dibawah hutan memang ada bahan tambang yang bisa diambil, namun mengingat fungsi hutan bagi kehidupan sebagaimana tergambar di atas, semuanya harus dilakukan dengan penuh perhitungan, secara terukur, terkontrol dan bijaksana.

 

Merusak Hutan Lambusango berarti merusak habitat Anoa, Andoke dan kawan-kawanya. Merusak hutan berarti menghancurkan ekosistem kehidupan yang terbangun melalui proses yang sangat panjang. Merusak hutan berarti menghancurkan kenyamanan dan menistakan fungsi hutan sebagai penyangga kehidupan. Merusak hutan adalah menghancurkan kehidupan.

 

Maraknya bencana banjir, tanah longsor akhir-akhir ini sebagian disebabkan oleh lemahnya perhatian kita semua dalam menjaga kelestarian hutan. Kita sungguh prihatin dengan penderitaan saudara-saudara kita yang sedang ditimpa bencana lingkungan. Namun bencana lingkungan yang selalu terjadi di musim hujan ini sekaligus harus kita manfaatkan untuk berinstropeksi (mawas diri) untuk menghindarkan bencana yang sama menimpa diri kita dan anak-cucu kita. Kita harus menyelamatkan lingkungan  yang masih nyaman dan aman ini dari peluang timbulnya bencana yang sama di kemudian hari.

 

Sebagai manusia bijak, sebagai khalifatullah, manusia harus menghindar dari bencana yang pencegahannya masih dapat dikelola. Manusia sebagai ciptaan Tuhan yang paling sempurna harus dapat menghindar dari bencana yang disebabkan oleh ulah manusia sendiri, manusia harus dapat belajar dan tidak ingin terantuk batu yang sama untuk kesekian kalinya. Manusia harus dapat mencegah ‘Bencana Lingkungan Buatan Manusia! 

Posted by: epurwanto | April 13, 2008

Belajar dari Beringin

3. Belajar dari Beringin

 

Beringin (Ficus spp) adalah pohon yang memiliki nilai khusus bagi orang Timur, dikenal sebagai pohon kehidupan, simbol kekuasaan yang melindungi. Sampai saat ini, masih bisa disaksikan keberadaan sepasang pohon beringin kembar yang selalu menghiasi alun-alun di depan kraton atau rumah jabatan Bupati di Jawa. Persepsi budaya dan spiritualitas ketimuran terhadap beringin berakar dari peran (niche) ekologis beringin di alam. Arsitektur pohonnya yang besar, rimbun dan melebar, merupakan tempat yang nyaman untuk berlindung dan sekaligus lahan mencari makan bagi berbagai jenis burung dan mamalia.

 

Tuhan menciptakan beringin sebagai lumbung makanan bagi berbagai jenis burung pemakan buah di hutan alam. Beringin merupakan sedikit dari pohon hutan yang mampu memproduksi buah dalam jumlah besar (hingga jutaan), masak dalam waktu yang cepat dan biasanya terjadi secara serempak. Saat musim buah tiba, suasana pagi hari di seputar pohon beringin begitu riuh-rendah oleh suara burung, layaknya sebuah pasar, ramai oleh lalu lintas burung yang hilir-mudik mengambil buah. Uniknya, produksi buah beringin tidak mengikuti aturan musim, beringin terus berbuah, ketika pohon-pohon lain berhenti berbuah. Karena itu, buah beringin berperan sebagai ’jaring pengaman sosial’ bagi burung pemakan buah.

 

Bukan hanya jumlahnya yang melimpah, kandungan gisinyapun tinggi. Buah beringin kaya akan  gula, juga kalsium yang sangat dibutuhkan burung untuk pembentukan tulang dan cangkang telur. Buah beringin disukai burung karena mudah dicerna. Burung menggantungkan sekitar  70 – 85 % jenis pakannya dari beringin. Kelimpahan (jumlah) pohon beringin di dalam suatu blok ekosistem hutan tropika, karena itu, menentukan kelimpahan jenis burung pemakan buah di wilayah blok tersebut.

 

Sedikitnya ada empat puluh jenis pohon beringin di hutan-hutan alam Sulawesi. Keragaman jenis beringin di suatu hutan, berbanding lurus dengan keragaman jenis lebah penyerbuknya (wasps). Uniknya, setiap jenis lebah penyerbuk, hanya mampu membantu proses penyerbukan beringin jenis tertentu saja. Sehingga apabila suatu jenis lebah punah, akan diikuti oleh kepunahan suatu jenis beringin pula.  Hal ini menunjukkan betapa tingginya keterkaitan dan ketergantungan antara tumbuhan dan satwa. Implikasinya, konservasi keragaman hayati di hutan tropika harus dilakukan berdasarkan pendekatan ekosistem.

 

Sebuah hutan yang satwanya habis oleh kegiatan perburuan, secara perlahan akan diikuti oleh kehancuran hutannya, karena kelangkaan agen penyerbuk maupun penyebar biji.  Demikian pula sebuah hutan yang telah gundul, akan diikuti oleh kelangkaan satwanya, karena lenyapnya tempat berteduh (shelter) dan lumbung makanan. Konservasi jenis, seperti konservasi anoa, tarsius, kuskus, rangkong, barung rangkong, kupu-kupu, kayu kuku dan sebagainya, karena itu tidak dapat dilakukan sendiri-sendiri, melainkan harus dilakukan dengan mempertahankan keutuhan ekosistem hutan secara menyeluruh!

 

***

 

Kembali ke beringin. Dari pertumbuhannya dikenal dua jenis beringin. Beringin yang langsung tumbuh dari biji yang bersemai langsung di tanah dan besar sebagai pohon yang mandiri. Kedua adalah beringin pencekik (strangling fig) yang mengawali hidup sebagai parasit (hidup menumpang dari) pohon lain, kemudian setelah besar mematikan pohon inangnya dengan cara mencekik.

 

Kehidupan beringin pencekik ini berawal dari biji yang dibawa oleh monyet atau burung, biji tersebut kemudian terjatuh dan menyangkut di tajuk sebuah pohon. Setelah bersemai, kemudian menjadi parasit yang menempel di cabang pohon.  Sebagai parasit, awalnya beringin kecil ini, memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya dari mengisap zat hara dari pohon inangnya.

 

Setelah akarnya tertancap kuat pada inangnya, beringin secara perlahan mulai membangun kekuatan, akar-akar sulurnya tumbuh kebawah dengan merambat dan membelit pohon inangnya, untuk mendapatkan asupan makanan secara langsung dari tanah hutan.  Seiring dengan perjalanan waktu, ukuran akar beringinpun semakin besar dan daya cekiknya juga semakin kuat. Kematian pohon inang biasanya disebabkan oleh, (1) belitan akar-akar beringin; (2) terampasnya aliran sumber makanan oleh akar-akar beringin; (3) ternaunginya tajuk pohon inang oleh kerimbunan tajuk beringin.

 

Kematian pohon inang oleh beringin pencekik, merupakan karikatur yang sempurna terhadap suksesi kekuasaan (dalam dunia manusia) yang dilakukan secara anarkis. Beringin merupakan personifikasi penguasa yang mbalelo terhadap sebuah rejim yang notabene telah berjasa menghidupi dan membesarkan dirinya. Apapun alasanya, penumbangan kekuasaan secara anarkis jelas tidak dapat dibenarkan. 

 

Menariknya disini, beringin tidak menggunakan kekuasan tersebut untuk kepentingan dirinya, melainkan demi misi kemanusiaan yang luhur, yaitu dengan berbuah sebanyak-banyaknya sepanjang musim untuk kemakmuran burung pemakan buah dan penghuni hutan lainnya. Proses perebutan ruang hidup yang begitu tragis, seakan dimaksudkan sebagai upaya untuk mengganti sebuah rejim yang lemah, yang tidak mampu mensejahterakan. Dan akhirnya beringin menunjukan kekuatannya sebagai penguasa yang mampu berbuat banyak bagi sebesar-besarnya kemaslahatan lingkungan hidupnya.

 

***

 

Suka atau tidak suka, model suksesi kekuasaan ala beringin sebagaimana tergambar di atas memang terjadi dalam realitas sejarah dan kehidupan keseharian. Yang penting untuk dicatat, bagaimana sang penakluk tersebut kemudian memanfaatkan kekuasaannya. Apabila ia memiliki komitmen yang tinggi memperbaiki keadaan, maka ia akan  sampai di gerbang kejayaan. Sebaliknya, kalau kekuasaan itu hanya untuk memuaskan nafsunya, maka cepat atau lambat, kekuasaan tersebut akan jatuh secara tragis pula.  Kedua cuplikan sejarah dibawah ini dapat dijadikan sebagai cermin.

 

Ken Arok awalnya adalah seorang pemuda desa yang oleh Brahmana Loh Gawe dititipkan kepada Tunggul Ametung, seorang Akuwu (Bupati) dari Tumapel. Karena kecakapan dan kesaktiannya, Ken Arok kemudian dipercaya menjadi pengawal pribadi Tunggul Ametung. Setelah merasa dirinya kuat, Ken Arok kemudian membunuh Tunggul Ametung dengan sebilah keris karya Empu Gandring.  Setelah Tunggul Ametung tewas, Ken Arok kemudian menikahi Ken Dedes (janda Tunggul Ametung), serta  mengambil alih kekuasaan Tumapel. Kekuasaan Ken Arok yang telah diraih dengan menghalalkan segala cara ini akhirnya menuai batunya, Ken Arok akhirnya dibunuh oleh Anusopati anak Tungul Ametung.

 

Dalam penggalan sejarah lain, Sutawijaya adalah anak Ki Gede Pemanahan yang sejak kecil diasuh oleh Sultan Pajang yang bernama Hadiwijaya (Jaka Tingkir). Hadiwijaya mendidik dan membesarkan Sutawijaya hingga tumbuh menjadi seorang kesyatria yang mumpuni. Karena jasa Sutawijaya dalam meredam pemberontakan Aryo Penangsang, Bupati Jipang, Hadiwijaya memberi anugerah sebuah lahan luas di Hutan Mentaok.  Sutawijaya kemudian menebang Hutan Mentaok dan membangunnya menjadi sebuah kota yang hingga kini dikenal dengan nama Kota Gede. Di kota inilah, Sutawijaya mulai membangun kekuasaannya. Setelah dirasa cukup besar, Sutawijaya kemudian menantang Hadiwijaya yang notabene adalah ayah angkat yang telah membesarkannya. Alhasil, Sutawijaya berhasil menumbangkan kekuasaan Hadiwijaya, dan kemudian menjadi sultan pertama  Kerajaaan Mataram, dengan sebutan Panembahan Senapati.

 

Panembahan Senopati dalam catatan sejarah dikenal sebagai Sultan yang bijaksana. Dalam Kitab Wedhatama, yang ditulis oleh Sri Mangkunagara IV, yang memerintah Surakarta dari 1857 sampai 1881, Panembahan Senopati digambarkan sebagai sultan yang selalu berjuang demi kesejahteraan rakyatnya (amemangun karyanaktyasing sesama).  Alhasil, berkat keutamaan dalam mengelola kekuasaan, kerajaan Mataram dibawah Panembahan Senopati semakin besar dan kuat, hingga mencapai keemasan di jaman Sultan Agung, yang merupakan cucu dari Panembahan Senopati.

 

Dalam kedua penggalan sejarah di atas, Ken Arok merupakan figur yang haus kekuasaan, dan besar kemungkinannya, Ken Arok memanfaatkan kekuasaan yang direbutnya hanya untuk memuaskan nafsu kekuasaannya saja, karena itu kekuasan Ken Arok tumbang secara tragis dalam waktu yang relatif cepat. Berbeda dengan Panembahan Senopati yang mampu memanfaatkan kekuasaan demi kemakmuran rakyatnya, ia dikenang sebagai raja yang arif dan bijaksana dan kekuasaan yang diperoleh dapat dipertahankan dalam jangka lama oleh keturunannya.

 

Dalam konteks kekinian, pemilihan kepala daerah (Bupati dan Gubernur) yang dilakukan secara langsung saat ini tak dipungkiri banyak menimbulkan masalah, karena berbagai dugaan kecurangan yang terjadi selama proses pemilihan. Bisa jadi, memang ada, kepala daerah terpilih yang dulunya menggunakan segala cara demi menaklukan lawan politiknya.   Bagi mereka yang berbuat demikian, pergunakanlah kesempatan emas yang anda miliki sekarang untuk bertaubat dengan bekerja keras demi kemakmuran rakyat.  Saatnya masyarakat menikmati kemakmuran dalam arti yang sebenar-benarnya, sebagaimana komunitas burung pemakan buah yang menikmati melimpahnya buah pohon beringin, sepanjang musim!    

  

 

 

 

 

 

 

 

Posted by: epurwanto | April 13, 2008

Saatnya Menjual Tanpa Merusak

2. Saatnya Menjual Tanpa Merusak

 

 

Di Indonesia, eksploitasi hutan hujan tropika secara gencar dimulai setelah terbitnya Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Nomer 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, serta Peraturan Pemerintah Nomer 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak Pemungutan Hasil Hutan.

 

Penebangan hutan hujan tropika  (HHT) secara masif dan serentak di berbagai wilayah tentu pada awalnya tidak ditujukan untuk menghancurkan sumberdaya hutan di bumi tercinta ini. Berbagai pihak, termasuk para teknokrat hutan (sering menyebut dirinya sebagai rimbawan) jebolan berbagai universitas kehutanan ternama negeri ini, awalnya begitu haqul-yakin bahwa penebangan skala besar ini tidak berdampak pada kehancuran hutan Indonesia. Hal ini nampak jelas dari berbagai tema atau kesimpulan seminar-seminar kehutanan yang begitu marak di tahun 70-an, demikian pula pidato pejabat-pejabat kehutanan yang selalu menyebut kata ‘lestari’ (sustainable). Bahkan tingginya ke ‘pd’ (‘percaya-diri’)-an ini tercermin pula dari nama berbagai unit usaha kehutanan dan HPH yang juga banyak mengobral kata ‘lestari’. 

 

Namun kenyataanya kini, berbagai jargon kelestarian itu, ternyata kosong belaka. Kata lestari ternyata hanya ditempatkan sebagai aksesoris (hiasan) dan tidak menjadi muara dari setiap kegiatan eksploitasi hutan. 

 

Sistem HPH yang diharapkan sebagai penjaga gawang kelestarian hutan Indonesia ternyata tidak lebih sebagai penjual hutan dalam arti yang sebenar-benarnya. Yang disayangkan, HPH yang telah terbukti merusak hutan, banyak yang hanya cukup ‘menebus’ kesalahannya dengan dicabutnya SK HPH. Ini jelas bukan sebuah petaka, bahkan mereka justru terbebas dari tanggung jawab memperbaiki kondisi hutan yang telah dihancurkan. Kemudian modal yang sudah dihisap dari hutan dapat diinvestasikan ke usaha lain. Sebagaimana namanya ‘Hak Pengusahaan Hutan’, mereka seakan memang hanya menerima ‘hak’ untuk menjual hutan, tanpa kewajiban untuk melestarikannya.

 

Pertanyaannya, dalam kondisi hutan yang carut marut ini, apakah konsep menjual hutan lama ini masih layak dipertahankan? Apakah sektor kehutanan masih dituntut untuk mengisi pundi-pundi negara dengan cara menghancurkan hutan yang telah berada diambang kepunahan ini?

 

                                                                                                                  

Konsep tebang pilih di hutan alam

 

Dalam Ilmu Kehutanan, konsep tebang pilih (selective logging)–sebuah mahzab silvikultur (ilmu budidaya hutan) polisiklik–adalah menebang riap/laju pertumbuhan (growth, increment) ekosistem hutan, sehingga keberadaan hutan sebagai faktor produksi bersifat tetap. Ibarat ekosistem hutan adalah sebuah pabrik kayu, maka pepohonan hutan  adalah pabriknya. Apabila  sebuah HPH mendapat konsesi hutan seluas 100.000 ha, kemudian rata-rata riap (pertumbuhan) ekosistem hutan adalah sebesar 1 m3/ha, maka jatah rata-rata tebangan HPH per tahun (annual allowable cut) sebesar 100.000 m3. Ribuan m3 kayu karenanya dapat diambil, tanpa harus menghancurkan ekosistem hutan sebagai pabrik kayu. Apabila HPH mendapatkan konsesi pengusahaan hutan selama 20 tahun, maka pada akhir tahun ke 20 masa konsesi, HPH harus mengembalikan hutan tersebut kepada negara dalam kondisi baik.  Prinsip inilah yang dalam ilmu kehutanan dikenal sebagai prinsip kelestarian hasil (sustainable yield principle).

 

Sebutan Hutan Hujan Tropika (HHT) pertama diperkenalkan oleh A.F.W. Schimper (seorang ahli botani kebangsaan Jerman) pada tahun 1898 dalam bukunya yang pada tahun 1903 diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris berjudul ‘Plant geography upon an ecological basis’.  Schimper menggunakan istilah trophise Regenwalt yang kemudian dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai tropical rain forests, yang berarti hutan yang selalu basah, tidak pernah, jarang atau hanya secara musiman mengalami kekurangan air.

 

Di dunia ini ada tiga kelompok besar HHT, yaitu HHT blok Amerika (American/Neotropical rain forest), HHT Afrika (African rain forest) dan HHT Indo-Malaya (Indo Malayan/Eastern/Malesia rain forest).  HHT blok Amerika terletak di Amerika Latin (Amerika Tengah, Amerika Selatan dan Kepulauan Karibea) serta terpusat di lembah sungai Amazon dan Orinoko. Blok HHT terbesar yang luasnya sekitar tiga perlima HHT bumi ini sebagian besar berada di Brazil yang sekaligus merupakan negara pemilik hutan terluas di dunia.  Blok Kedua adalah HHT Afrika yang proporsinya kurang dari seperlima HHT bumi dan berada di Afrika Tengah serta terkonsentrasi di lembah Kongo/Zaire.  Sedangkan HHT Indo-Malaya berada di kawasan Asia Pasifik, terpusat di Indonesia dan Malaysia.

 

Dominasi famili Dipterocarpaceae di HHT Indo-Malaya membuat HHT ini memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan HHT Amerika dan Afrika. HHT Indo-Malaya juga paling ideal untuk dikelola secara lestari. Sekitar lima hingga sepuluh tahun sekali, Famili Dipterocarpaceae mengalami pembungaan dan pembuahan  besar-besaran, sehingga lantai hutan dipadati oleh hamparan anakan pohon yang menjamin kelestariannya. HHT Indo-Malaya juga memiliki kerapatan dan kekayaan jenis komersial tertinggi di dunia, sehingga membuat bisnis penebangan hutan (logging) lebih ekonomis dan menguntungkan dibandingkan di Amerika Selatan dan Afrika. Kondisi hutan seperti inilah yang mendukung Indonesia hingga pernah dijuluki sebagai ‘macan kayu’ Asia.

 

Prinsip dasar silvikultur tebang pilih sebetulnya adalah menghindarkan ke-mubazir-an alam.  Hutan alam betapapun bagusnya, dieksploitasi atau tidak, secara alami tetap mengalami ‘kerusakan’. Beberapa pohon akan tumbang, baik oleh bencana alam seperti sambaran petir, badai, tanah longsor atau mati secara alami karena umur yang terlalu tua (over-maturity). Tumbangnya beberapa pohon akan membuka tajuk hutan, sehingga  cahaya matahari bisa menerobos lantai hutan yang kemudian merangsang pertumbuhan anakan pohon dan merangsang hadirnya tegakan muda.  Dengan demikian hutan alam yang tidak terganggu sekalipun mengalami dinamika perubahan dan terdiri dari berbagai mosaik tingkat pertumbuhan, dimana tingkat kekasaran mosaiknya ditentukan oleh frekuensi dan intensitas gangguan alaminya.

 

Walau tanpa perlakuan khusus, hutan tropis akan mampu  menyembuhkan dirinya dari berbagai dampak pembalakan hutan, asalkan hutan bekas pembalakan (logged over area) ini harus dijaga dari berbagai kerusakan. Diantaranya adalah, tebang cuci mangkok (relogging), atau perambahan kawasan hutan oleh masyarakat yang datang setelah jalan-jalan hutan terbuka. Pengelolaan hutan tropis sebenarnya tidak memerlukan teknologi canggih dan rumit, curah hujan yang tinggi dan tanah hutan yang masih subur, akan mendukung terjadinya suksesi alam dari hutan-hutan sekunder secara cepat, asalkan hutan tersebut tidak terganggu atau sengaja untuk dirusak.

 

Konsep tebang pilih ditujukan untuk mengurangi ke-mubazir-an alam dengan  mengurangi tegakan tua, kemudian pada saat yang sama merangsang tumbuhnya tegakan muda. Hutan tropis juga dikenal memiliki daya recovery (pemulihan) yang tinggi terhadap gangguan akibat pembalakan hutan.  Jelaslah bahwa konsep tebang pilih sebetulnya sama sekali tidak dimaksudkan untuk merusak, justru sebaliknya sebagai upaya meningkatkan produktifitas hutan.  

 

Menjual dengan merusak

 

Sejarah mencatat konsep silvikultur tebang pilih sebagaimana diuraikan diatas tidak diterapkan secara murni dan konsekuen di lapangan,  dampaknya adalah kehancuran hutan. Dari sekitar 570 HPH yang pernah ada, tidak ada satupun yang terbukti mampu mengelola hutannya secara lestari dengan sistem tebang pilih. Bahkan bukan hanya HPH yang dimiliki oleh perusahaan swasta atau BUMN kehutanan, HPH yang dikelola oleh perguruan tinggi kehutanan-pun hancur juga, bahkan hutan latihan atau hutan penelitian yang dikelola pemerintah yang seharusnya menjadi contoh juga  mengalami nasip serupa.

 

Kenapa semuanya itu terjadi? Jawabnya sederhana, karena sebagian besar pihak yang terlibat dalam eksploitasi hutan, baik swasta, BUMN maupun pemerintah hanya berniat menjadikan hutan sebagai mesin uang. Niat ini sejak awal tersirat dari Peraturan Pemerintah/PP Nomer 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak Pemungutan Hasil Hutan. PP ini menyebutkan bahwa negara memandang hutan sebagai suatu potensi kekayaan alam yang perlu segera dimanfaatkan secara maksimal. Kata ‘segera’ dan ‘maksimal’ yang tercantum dalam konsideran PP tersebut menunjukan bahwa negara lebih memandang hutan sebagai sesuatu yang perlu segera dijual, dibandingkan sebagai sumberdaya yang perlu dikelola secara cermat. Karena itu, di saat hutan masih melimpah, kesuksesan HPH umumnya hanya dilihat dari berapa besar volume kayu yang bisa ditambang dari hutan, dan bukan keberhasilannya mengamankan hutan untuk tebangan rotasi berikutnya.

 

Karena itu, ‘logging’ yang dalam konsep pengelolaan hutan secara lestari adalah  sebuah upaya untuk mengendalikan ke-mubazir-an alam tidak lebih hanya diartikan sebagai proses penambangan kayu tanpa kendali. Kegiatan silvikultur yang semula didisain menjadi ujung tombak pelaksanaan logging, dalam praktiknya hanya digunakan sebagai sekedar hiasan. Sarjana-sarjana kehutanan profesional yang harusnya menjadi panglima pengelolaan kelestarian hutan, banyak yang akhirnya cukup digantikan oleh  operator chain-saw yang ukuran kinerjanya adalah besarnya volume kayu yang dapat ditambang dari hutan dan bukan kelestarian ekosistem sumberdaya hutan itu sendiri. 

 

Konsep menjual hutan macam inilah yang kemudian membawa  negeri ini menjadi penghasil log terbesar di dunia, yang membuat sebagian besar rimbawan, politisi dan aparat negeri ini ketiban rejeki nomplok (windfall profit). Produksi log nasional menembus angka 100 juta m3 per tahun.  Devisa kayu yang diperoleh pada tahun 1980-an pernah menduduki posisi kedua setelah minyak. Pada tahun 1990-an, perolehan devisa kayu adalah kedua setelah tekstil.

 

Namun konsep menjual hutan macam ini jelas tak akan bertahan lama. Gilang-gemilang itu seakan hanya terjadi dalam sekejap. HPH dan industri kehutanan secara perlahan tetapi pasti berguguran. Pada tahun 1990 masih tercatat 567 HPH yang menguasai 60 juta hektar, sepuluh tahun kemudian  hanya tersisa 270 HPH dengan luas 28 juta hektar. Kemudian pada tahun 2004, jumlahnya merosot lagi menjadi 225 HPH. Semakin rusaknya hutan, dan tingginya ancaman kerusakan hutan dari berbagai pihak, telah membuat sejumlah besar HPH berguguran, sekitar 25 – 40 HPH gulung tikar setiap tahunnya.

 

Semakin terakumulasinya konflik kepentingan atas sumberdaya hutan telah membuat laju dehutanisasi (deforestation, penggundulan hutan) meningkat tajam. Pada periode 1985-1997 sebesar 1,9 juta ha/tahun, atau hutan alam seluas enam lapangan sepak bola hancur setiap menitnya. Sementara pada periode 1997-2000 (menurut Badan Planologi, Departemen Kehutanan, 2003) justru meroket menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Sebuah laju kerusakan hutan alam terhebat di dunia!

 

Saat ini, 72 persen hutan alam Indonesia yang sering disebut oleh para pecinta lingkungan sebagai hutan surgawi (paradise forest) telah terdegradasi, sedangkan 40 persen hutan Indonesia telah hancur dan sebagian besar telah dikonversi untuk berbagai tata-guna lahan non-hutan. Hutan alam Indonesia yang masih tersisa diperkirakan hanya 20 persen saja (Greenpeace, 2006).

 

Kini sebagian besar penebangan kayu dilakukan secara ilegal oleh para cukong kebal hukum. Yang lebih memprihatinkan lagi, sebagian besar keuntungan tersebut justru dinikmati oleh China dan Malaysia. Para cukong itu begitu mahir menjual hutan Kalimantan dan Papua secara diam-diam ke China dan Malaysia, kemudian negara tersebut mengekspornya ke Jepang, Eropa, Australia dan Amerika Serikat.  Kondisi macam ini ditengarai menimbulkan kerugian miliaran dollar AS setiap tahunnya.  Namun apa mau dikata, gerakan penghancuran lingkungan yang begitu masif dan teroganisir ini tidak bisa dihentikan oleh negara.

 

Menjual tanpa merusak

 

Mengambil pelajaran dari kerusakan hutan nasional yang terjadi, bersyukurlah bahwa masyarakat Buton dimana penulis bekerja saat ini, masih memiliki Hutan Lambusango (65.000 ha) yang sampai kini belum tersentuh oleh konsep menjual hutan dengan cara merusak. Tidak ada ceritanya menjual kayu hutan alam itu menguntungkan. Apabila dilakukan audit sumberdaya, keuntungan yang diperoleh dari penjualan kayu pasti tidak seimbang dengan biaya ekologi dan sosial yang ditimbulkan akibat kerusakan ekosistem hutan. 

 

Setiap hutan alam yang masih utuh memberikan jasa lingkungan bagi masyarakat disekitarnya.  Dengan semakin langkanya hutan alam, maka jasa lingkungan hutan ini  memiliki nilai kelangkaan yang semakin tinggi pula. Sebagai ilustrasi dari Buton, saat ini, seluruh jasa lingkungan Hutan Lambusango sudah mulai dikenal oleh pemangku kepentingannya dan telah mulai dijual dengan tanpa merusak.

 

Masyarakat Lambusango kini begitu sadar apabila sumberdaya air Hutan Lambusango selain digunakan sebagai sumber air minum dan irigasi, selama ini juga telah dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik yang dinikmati oleh penduduk di Kabupaten Buton, Kota Bau-Bau serta sebagian wilayah Kabupaten Muna. Ada lebih dari 50.000 Kepala Keluarga (KK) yang kebutuhan energinya disokong oleh keberadaan Hutan Lambusango.  Masyarakat juga sadar bahwa Hutan Lambusango yang terjaga dengan baik telah mampu memelihara kejernihan sungai, menjaga kualitas dan kuantitas air, serta memelihara kelestarian ekosistem perairan laut disekitar Pulau Buton. Ada sekitar 45.000 KK, yang terdiri dari  nelayan, petani rumput laut dan peternak kerang mutiara (siput mabe) yang merasa disokong mata pencahariannya oleh keberadaan Hutan Lambusango. 

 

Masyarakat Lambusango juga menyadari apabila keindahan dan keragaman hayati Hutan Lambusango telah membuat hutan ini menjadi laboratorium konservasi biologi internasional. Setiap tahunnya sekitar 100 – 200 orang wisatawan asing datang dari berbagai penjuru dunia ke Hutan Lambusango untuk menikmati keindahan dan meneliti keragaman hayatinya. Kegiatan ekowisata (wisata ilmiah dan budaya) yang difasilitasi oleh Operation Wallacea Ltd ini mampu memberikan mata pencaharian berkelanjutan (sustainable livelihood) bagi  masyarakat setempat, sedikitnya ada 60 KK yang terlibat dalam kegiatan ini.

 

Inilah konsep menjual tanpa merusak ala masyarakat Lambusango, Buton. Dengan konsep inilah Hutan Lambusango tidak pernah tersentuh perusak hutan ala HPH, sehingga masih bertahan sampai saat ini.

 

Menjual sekaligus membangun

 

Belajar dari sejarah pengelolaan hutan jati di Jawa. Pada awalnya, jati yang tumbuh di Pulau Jawa adalah jati alam, bukan jati tanaman. Belanda, saat itu VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie, kongsi dagang Belanda, sering disebut ‘Kompeni Belanda’), adalah entitas bisnis pertama yang menebang jati alam di Pulau Jawa. Namun konglomerat Belanda itu bukan sekedar menebang, melainkan sekaligus membangun pengelolaan hutan Jati alam di Jawa secara lestari.

 

Sebelum menebang, mereka mendalami kultur jati dengan baik, mereka menyiapkan berbagai model permudaan jati, melakukan percobaan penjarangan jati, penterasan dan sebagainya. Kemudian sambil menebang, mereka juga secara perlahan membangun baik dari sisi tegakan maupun administrasi pengelolaannya. Administrasi itu penting dalam pengelolaan hutan, tanpa administrasi yang baik tidak mungkin hutan dapat dikelola dengan lestari. Pengukuran hutan harus dilakukan dengan cermat dengan tingkat ketelitian tinggi, bukan hanya sekedar ada data, apalagi data tersebut dihasilkan dari survei yang penuh rekayasa. Menyadari hal itu, Belanda secara menerus membangun administrasi pengelolaan tegakan jati, mulai dari penebangan, penanaman, pemeliharaan, penjarangan, penterasan, sedemikian rupa sehingga jati alam yang ditebang dapat tumbuh menjadi hutan jati tanaman dengan kualitas dan produktifitas yang lebih tinggi dari jati alam.

 

Sambil mengeksploitasi hutan jati alam, secara perlahan Belanda juga menata kelembagaan pengelolaan hutan jati. Belanda membangun kesatuan-kesatuan pengelolaan hutan yang batasnya mengikuti batas alam (daerah aliran sungai). Kemudian membagi menjadi bagian-bagian kesatuan hutan, demikian seterusnya hingga sampai ke petak dan anak petak. Setiap jengkal tanaman jati telah begitu jelas siapa yang bertanggung jawab atas penanaman, pemeliharaan dan penebangan, termasuk pengamanan hutannya, baik dari pencurian maupun kebakaran. Semua begitu rapi, teratur dan mudah dipahami, bahkan oleh seorang mandor yang hanya tamat sekolah rakyat.  Dengan administrasi yang rapi, tidak ada satupun pohon jati yang tumbang tanpa perhitungan yang matang serta adanya jaminan kelestariannya. Di tangan Belanda prinsip kelestarian hasil (sustainable yield principle) benar-benar dapat ditegakan, dan produktifitas hutan jati-pun berhasil dipertahankan selama beberapa abad.

 

Inilah konsep menjual dengan membangun ala Belanda. Kita perlu bercermin dengan  Belanda, VOC sebagai konglomerat asing, representasi dari sebuah rejim kapitalis dan kolonialis –yang kita pandang sebagai penguasa licik dan serakah—saja,  begitu cermat dan penuh tanggung jawab dalam memperlakukan hutan jati di Jawa. Mereka bukan sekedar meraup keuntungan, tetapi juga bekerja keras untuk membangun. Bahkan rejim kolonial Belanda selama beberapa abad mencengkeram bumi nusantara juga hampir tidak menyentuh hutan hujan tropika di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, Maluku dan pulau-pulau lainnya. Sebaliknya di tangan Bangsa Indonesia, hanya dalam hitungan puluhan tahun semuanya ludes! Begitu luar biasa kekayaan negeri ini yang telah terjual entah untuk kepentingan siapa.

 

Inilah saatnya untuk bercermin dan memperbaiki diri. Dengan alasan apapun, konsep menjual hutan dengan merusak harus segera dihentikan. Marilah kita membangun semangat menjual sekaligus membangun, atau setidaknya menjual tanpa merusak. Berhentilah berebut untuk sekedar menghabiskan hutan yang masih tersisa!

 

 

 

 

 

Posted by: epurwanto | April 13, 2008

Nasionalisme Lingkungan

1. Nasionalisme Lingkungan

 

Ramayana sebuah epos (kisah kepahlawanan) dari India yang begitu populer di Indonesia,  mengisahkan perang besar antara Rama (pewaris tahta kerajaan Ayodya) dengan Rahwana, maha raja Alengka. Rama yang dibantu oleh ribuan pasukan monyet (kera) pimpinan Hanoman menyerbu Alengka untuk mengambil kembali Sinta (istri Rama) yang diculik oleh Rahwana. Dalam perang ini Rama mewakili pihak kebenaran, sedangkan Rahwana adalah simbol keangkaramurkaan.

 

Pada awalnya perang ini berjalan berimbang, namun setelah Prahasta (panglima perang Alengka) gugur, prajurit Alengka mulai terdesak.  Saat itu, Rahwana yang sebelumnya sangat tegar dan begitu yakin akan menuai kemenangan mulai kalut. Dia kemudian membujuk adiknya Kumbakarna, yang sedang bertapa, agar bersedia menjadi panglima perang menggantikan Prahasta. Menyadari bahwa Rahwana di pihak yang salah, Kumbakarna menolak permintaan kakaknya. Berbeda dengan Rahwana yang keras kepala, kejam dan selalu mengumbar nafsu angkara, Kumbakarna adalah raksasa berhati brahmana, berjiwa anoraga (rendah-hati), berbudi halus dan welas asih.

 

Alkisah, perang terus berkecamuk, kekuatan pasukan Alengka terus melemah, dan pasukan monyet-pun mulai sorak-sorai kegirangan. Tempik sorak pasukan monyet tak urung membangunkan Kumbakarna dari pertapaannya. Dan .. alangkah terkejut hati Kumbakarna menyaksikan negerinya yang berantakan oleh perang yang  tidak seimbang. Perasaan Kumbakarna luluh-lantak, hatinya geram, darahnya mendidih melihat negerinya menjadi puing-puing. Benteng Alengka roboh,  hutan dan seluruh negeri hangus terbakar, bendungan Alengka bobol. Negeri Alengka-pun menjadi gelap gulita, berselimut asap dan hancur diterpa bencana air bah. Melihat kehancuran lingkungan yang begitu mengerikan, Kumbakarna kemudian menghadap Rahwana dan menyatakan sanggup menjadi panglima perang Alengka dan siap mengusir pasukan monyet perusak negeri. Rahwana begitu suka cita melihat perubahan sikap adiknya, dan Kumbakarna-pun segera berujar ihwal perubahan sikapnya.

 

Wahai kanda Prabu, ketahuilah kepergianku ke medan laga ini bukan sebuah dukungan terhadap keangkara-murkaanmu. Melainkan karena kecintaanku pada negeri Alengka yang saat ini sedang dijarah oleh musuh. Sebagai putra Alengka, aku berkewajiban  melindungi kelestarian lingkungan negeriku. Aku sungguh tidak rela bumi Alengka hancur oleh siapapun dan oleh alasan apapun’.

 

Kumbakarna akhirnya gugur di medan perang, jasatnya diusung oleh para bidadari, dan arwahnya memasuki nirwana keabadian. Kumbakarna telah mati syahid.

 

***

 

 

Epos lain dari India yang juga telah mengakar di Indonesia, yaitu Mahabarata, diantaranya mengisahkan keluhuran budi Bisma dan kecintaanya terhadap negeri Hastina.

Bisma adalah anak tunggal Prabu Sentanu (Raja Hastina) dengan Dewi Gangga. Setelah  Gangga meninggal, Prabu Sentanu berniat menikahi Durgandini (seorang janda dari Negeri Wirata). Durgandini menerima lamaran Sentanu, apabila anak hasil perkawinannya kelak akan menjadi raja Hastina. Karena kecintaan Bisma kepada ayahnya, Bisma dengan tulus melepaskan haknya sebagai putra mahkota Hastina, dan ia-pun bersumpah selama hidupnya tidak akan menyentuh tahta Hastina. Tragisnya kedua anak hasil perkawinan Sentanu dengan Durgandini mati muda, tahta Hastina kemudian kosong, sedangkan Bisma-pun tidak bersedia mencabut sumpahnya. Memperhatikan keteguhan hati Bisam, Durgandini kemudian memutuskan memanggil Abiyasa, anaknya dari suami terdahulu (Begawan Palasara), untuk menduduki tahta Hastina. Abiyasa inilah yang kemudian menurunkan Pandawa (ksatria berjumlah 5 orang) dan Kurawa (ksatria berjumlah 100 orang ).

 

Waktu terus berlalu, kekuasaan negeri Hastina setelah surutnya Abiyasa dan anaknya (Prabu Pandu) jatuh ke tangan Kurawa, yaitu Duryudana dan adik-adiknya. Berbeda dengan Pandawa yang berbudi luhur, Kurawa sangat licik dan serakah. Duryudana begitu gila kekuasaan dan tidak ingin menyerahkan sebagian wilayah Hastina yang merupakan hak waris Pandawa. Perebutan  kekuasaan inilah yang menimbulkan perang Baratayuda. Untuk menjaga kelestarian lingkungan negeri Hastina, fokus perang saudara (Pandawa-Kurawa) disepakati berada di Padang Kurusetra, sebuah padang luas di wilayah perbatasan Hastina. Bisma yang saat itu sudah uzur  memilih bertapa dan tidak ingin ikut campur dalam perang Baratayuda.

 

Alkisah, begitu genderang perang bertalu, tiga ksatria pembela Pandawa dari Wirata, yaitu Seta, Utara dan Wratsangka bersama bala tentaranya langsung menginvasi negeri Hastina. Tindakan ini jelas menyalahi aturan perang. Amukan  prajurit Wirata yang membabi-buta tak urung menimbulkan kerusakan lingkungan negeri Hastina. Menyimak kerusakan yang terjadi, Bisma yang sudah gaek langsung memegang senjata untuk  menahan amukan Seta. Alhasil, Bisma berhasil menghalau Seta dan wadya-balanya keluar dari negeri Hastina. Kerusakan lingkungan negeri Hastina dapat dicegah dan ketiga ksatria Wirata tersebut gugur di tangan Bisma.

 

Kematian putra Wirata tersebut akhirnya menjadi martir kemarahan sekutu Pandawa, dan akhirnya Bisma-pun gugur oleh terjangan panah prajurit wanita bernama Srikandi. Sesaat sebelum Bisma mangkat, di tengah Padang Kurusetra, Bisma yang sudah renta dan bermandikan darah itu dikerumuni oleh seluruh Pandawa dan Kurawa. Bisma-pun  berujar bahwa dia telah mencapai jalan kematian yang paling sempurna, yaitu mati demi mempertahankan kelestarian alam negeri yang dicintai. Bisma-pun mati syahid.

 

***

 

Kelestarian alam sebuah negeri merupakan sesuatu yang tidak bisa ditawar. Sejarah mencatat, punahnya negara Mesopotamia, Maya dan Astek oleh bencana lingkungan buatan manusia. Negara akan rapuh dan masa depannya suram bila alam dan lingkungannya menuju kehancuran. Ketahanan nasional sebuah negeri melemah seiring dengan kehancuran sumberdayanya. Mindset ini begitu terpatri di dada Kumbakarna dan Bisma, sehingga mereka rela mempersembahkan seluruh jiwa dan raganya, bahkan pada saat negerinya berada dalam posisi yang salah dan tidak patut dibela.  Bagi Kumbakarna dan Bisma, keselamatan lingkungan negerinya adalah berada di atas segala kepentingan, baginya right or wrong is my country!

 

Alam Indonesia kini sedang menuju kehancuran, bencana demi bencana secara menerus mendera, bahkan ketika di berbagai wilayah masih dilanda banjir dan tanah longsor, bencana lain, yaitu kebakaran hutan dan lahan sudah menyusul. Sungguh ironis, negara  pemilik kekayaan alam luar biasa yang seharusnya dapat mensejahterakan rakyatnya, justru seakan menjadi kutukan yang menyengsarakan. Rakyat Indonesia tidak menjadi kaya dengan menebang hutan, mengeksploitasi bahan tambang, melainkan justru miskin dan semakin tergantung terhadap eksploitasi sumberdaya alam. 

 

Di lain pihak mega-degradasi lingkungan tidak terbendung yang membuat rakyat Indonesia semakin sengsara. Walau hutan tropis Indonesia kini  sudah hampir habis, alih-alih laju dehutanisasi (deforestation) terkendali, justru malah meroket hingga 3,6 juta ha per tahun. Majalah New York Times (26 Desember 2005) menyebut operasi tambang PT Freeport di Papua sejak tahun 1967 telah memproduksi limbah sebesar 6 miliar ton, yang notabene  lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan seluruh hasil galian dalam pembangunan Terusan Panama. 

 

Perusakan lingkungan negeri bukan hanya mengeroposkan ketahanan nasional tetapi juga telah merusak citra dan identitas bangsa. Indonesia yang dulu dikenal sebagai bangsa berwibawa, kini banyak diremehkan bangsa lain karena ketidakmampuannya mengelola  lingkungan. Perilaku penuh percaya diri Malaysia dalam kasus Ambalat, Sipadan dan Ligitan merefleksikan penilaian negara itu terhadap Indonesia. Hal yang sama juga dilakukan oleh Australia akhir-akhir ini.

 

Ironisnya, sebagai bangsa yang lahir dari proses perjuangan yang merebut kemerdekaanya dari cengkeraman penjajah, secara rasional, kultural, dan emosional belum muncul sikap, semangat dan etos kerja untuk bangkit memperbaiki keadaan. Para ksatria bangsa justru masih terus asyik berbeda pendapat, tidak saling percaya dan saling menyalahkan. Lalu sampai kapan hal ini akan terus terjadi? Mengapa kita tidak segera bangkit bersama menghadapi keterpurukan ini? Dimanakah Kumbakarna dan Bisma negeri ini?

 

Sungguh kontras dengan karakter Kumbakarna dan Bisma yang tidak merelakan tanah airnya dirusak barang secuilpun oleh siapapun dan oleh alasan apapun. Manusia Indonesia kini justru asyik menghancurkan lingkungan negerinya, seakan sumberdaya alam yang ada hanya diciptakan untuk dirinya dan hanya untuk saat ini saja. Berbagai kegiatan illegal terjadi dimana-mana, tetapi tidak ada satupun kekuatan di negeri ini yang bisa menghentikannya. Bahkan semakin banyak oknum pejabat, politisi, penegak hukum yang seharusnya menjadi panglima perang keselamatan lingkungan, justru berbalik mendukung aksi penjarahan.

 

Kita juga termasuk bangsa yang masih sulit belajar. Di tengah rusaknya alam Kalimantan, pemerintah  masih saja berkeinginan membuat mega-proyek dengan risiko kerusakan lingkungan skala luas. Rencana pembukaan kebun kelapa sawit seluas 2 juta ha di wilayah perbatasan Kalimantan, jelas akan berdampak terhadap hancurnya hutan alam yang menjadi benteng terakhir flora-fauna Kalimantan, termasuk Orangután.  Di Sumatera, kehancuran hutan telah membuat puluhan Gajah Sumatra mengamuk yang kemudian mendorong masyarakat untuk melakukan pembunuhan gajah secara besar-besaran.

 

Memperhatikan kondisi alam yang semakin rusak dan tingginya nafsu merusak,  sudah saatnya paham nasionalisme ditelaah dan disesuaikan konteksnya. Nasionalisme tidak cukup dimaknai sebagai semangat membela negeri dari gangguan, ancaman dan serangan dari luar, atau reaksi emosional sesaat (turun ke jalan, pembakaran bendera, sweeping warga negara asing) sebagai reaksi terhadap cibiran negeri lain. Nasionalisme adalah rasa cinta terhadap kekayaan alam tanah-air dan kesediaan berkorban untuk melindungi lingkungan  negeri dari nafsu perusakan dan penjarahan terorganisir yang dilakukan oleh siapapun dan demi alasan apapun.

 

Untuk itu, bangsa ini memerlukan ‘nasionalisme lingkungan’, yaitu tampilnya karakter manusia Indonesia dan kebijakan pembangunan yang pro-perlindungan alam, pro-kelestarian lingkungan dan pro-keseimbangan ekologi (ecological equilibrium). Bangsa ini merindukan tampilnya menteri, gubernur dan bupati yang memiliki kemauan dan komitmen politik untuk melindungi keselamatan alamnya dan bukan sekedar semangat mempertahankan kekuasaan dengan mengorbankan kerusakan lingkungan.

 

Setiap warga negara Indonesia dapat memiliki nasionalisme lingkungan tanpa harus menjadi Kumbakarna atau Bisma. Nasionalisme lingkungan bisa dimulai dari hal sederhana, bahkan cukup dengan bekerja sesuai tugas dan kewajibannya secara profesional. Nasionalisme lingkungan adalah disiplin, kerja keras, menghargai prestasi, budaya bersih, hemat energi, tidak korupsi dan sebagainya. Setiap manusia Indonesia bisa berjiwa nasionalisme lingkungan tanpa harus menyandang sebutan aktifis lingkungan atau  watch-dog pembangunan.

 

Seorang polisi hutan yang menunaikan tugasnya dengan baik sehingga hutannya aman dari penjarahan, adalah polisi hutan berjiwa nasionalisme lingkungan. Demikian pula seorang jaksa yang memberikan tuntutan hukuman yang layak bagi cukong perusak lingkungan. Pengusaha sawit yang tidak melakukan pembakaran lahan. Penegak hukum di wilayah perbatasan yang bernyali mencegah penyelundupan kayu. Seorang hakim yang  memberikan vonis sesuai perundangan yang berlaku. Pemegang konsesi hutan yang meminimisasi dampak penebangan hutan. Industri pengolahan yang meminimisasi limbah. Pejabat Pemda yang gigih memfasilitasi pengalokasian kawasan lindung. Bupati yang menolak ijin pertambangan di kawasan hutan lindung. Dan … bahkan juga seorang ibu yang mendidik anaknya sejak dini untuk tidak membuang sampah di sembarang tempat ….. daftar ini dapat diteruskan…dan jumlahnya mungkin bisa tak terhingga.

 

Singkatnya nasionalisme lingkungan adalah penggunaan mindset konservasi lingkungan pada seluruh aspek kehidupan, yaitu menjadikan etika konservasi lingkungan sebagai way of life, ideologi dan pandangan hidup penyelengaraan kehidupan !

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Posted by: epurwanto | April 11, 2008

Promotion and Replication

Dear all,

Attached please find progress report of Lambusango Forest Conservation Project/LFCP (June 2005 – February 2008). The project is implemented by Operation Wallacea Trust (OWT) and received funding from Global Environment Facility (GEF, medium scale project) with World Bank as implementing agency.  Project activities will continue until May 2008, followed by a six month period devoted to PROMOTION and REPLICATION (until December 2008).

 

Lambusango Forest is an intact lowland rainforest located in the centre of Buton Island, South East (S.E.) Sulawesi. Apart from home of endemic species of Wallacea Bioregion the forest is the head of water catchments of all rivers flowing to the southern part of Buton Island. The forest (± 65,000 Ha) is made up of different categories: 29,320 ha of two protected areas, Kakenauwe Nature Reserve (± 810 ha) and Lambusango Wildlife Reserve (± 28,510 ha) which are managed by the BKSDA S.E. Sulawesi (Ministry of Forestry) and ± 35,000 ha of protection forest and production forest which are managed by Buton District government.

 

Since 1999, the forest has become a research site of Operation Wallacea Ltd [Scientific Conservation Expedition (ecotourism) Company] lead by Dr. Tim Coles (tim.coles@opwall.com, www.opwall.com). The research activities are conducted from July till September each year.  The ecotourism activities in term of scale (number of visitors) and its economic benefit to local community may be one of the biggest forest based ecotourism in Indonesia.

 

Following are the summary of progress and achievements:

1. Facilitated the development of Community Forestry Management Forum (Forum Hutan Kemasyarakatan Lambusango/FHKL) as government partner and has actively involved on:  (1) Improving forest governance policy; (2) Changing community attitude toward sustainable forest resource management: (3) Strengthening community based forest protection.

2. Facilitate various village business development models as livelihoods alternative for local community living surrounding the forest. The project has been successful to facilitate Matanauwe Cashew Farmer Association (Asosiasi Petani Jambu Mete Matanauwe/APJMM) to receive fair-trade certification from FLO, Germany. This is the first cashews producer in the world receiving FLO certification which enables to link its product to international market. The project has been facilitating international market for local agriculture products, especially cashews and coffee. Various businesses have been successfully developed and started providing revenue to local community (ginger farming and marketing, orange plantation, seaweed farming and marketing, oyster faming and marketing, coconut oil processing, eco-tourism etc.).  The final objective of business facilitation is the development of village business conservation commitment.  OWT together with Operation Wallacea Ltd have linked Lambusango products to international market under the scheme of Wildlife Conservation Products.

3. Facilitated the development of Geo-information System Forum (GIS Forum) and has successfully attracted Government investment on GIS/RS equipments to produce recent digital land cover maps as a basis for conservation spatial planning.

 

4. Facilitated the development of  Forest Crime Unit Lambusango (FCUL) which consists of informants, response unit and journalist teams and has made progress in the detecting encroachment (in Lawele, Matanauwe and Wakangka villages) and illegal harvesting of timber (in Wagari village) during joint patrols with government investigators, forest rangers and journalists. This has led to confiscation of illegal timber in Wagari village, confiscation of chainsaws, and prosecution of illegal loggers. A forest crime patrol in December 2007, detected forest encroachment involving 15 farmers and 2 forestry officials. In response to the evidence presented by FCUL and a follow-up police investigation, 11 farmers and the two forestry officials are currently in detention awaiting prosecution. The latter case attracted media coverage and raised the public’s awareness about forest crimes.

 

5. Awareness campaign through various media (posters, stickers, interactive dialogues in local radio and television, writing competitions, speech contest) has stimulated prides of Butonese and South Sulawesi Province community on the existence of Lambusango Forest.

 

6. Published Lambusango Newsletters (13 editions), books outlining the biodiversity of Lambusango Forest, faith-based conservation campaign and green nationalism.

 

7. Facilitated the development of teaching materials to support local content curriculum on environmental education in elementary and secondary schools in Buton and Bau-Bau Town.

 

8. Scholarship for three Indonesian PhD students (to study in UK Universities) and facilitated their research in the Lambusango Forest.

 

9. Grants for undergraduate’s students (45 persons) and training for secondary school students (97 persons) to gain field experience in biodiversity assessment of Lambusango Forest.

 

10. Conducted socio-economic monitoring to assess the impact of the project on local economic development.

 

Related with PROMOTION and REPLICATION phase, we are seeking information on events of discussions/meetings (workshops, seminars and relevant gathering) in conservation at local, regional and national level where we can share our experience (lessons learned) and looking after suitable sites to replicate the project.  

 

We copy the message to Dr. Tony Whitten (Senior Biodiversity Specialist, Environment and Social Development Sector, East Asia and Pacific Region, World Bank, Twhiiten@worldbank.org) as Task Team Leader of the project. 

 

Many thanks for your kind attention and cooperation.

 

Down Load : owt_inception_report-ed1

 

Best regards,

 

 

Dr. Edi Purwanto

Operation Wallacea Trust

Jl. La Balawo No. 25, Bau-Bau, Buton, SE Sulawesi, Indonesia

Phone/Fax: +62 402 25506, HP: +62 81 296 55 233

www.epurwanto.wordpress.com

www.lambusango.com

 

 

Dear All, 

 

Terlampir kami sampaikan laporan perkembangan Program Konservasi Hutan Lambusango/PKHL/Lambusango Forest Conservation Project (Juni 2005 – Februari 2008) yang dilaksanakan oleh LSM Operation Wallacea Trust dengan sumber dana dari Global Environment Facility (GEF, medium scale project) yang disalurkan melalui management Bank Dunia.  Program ini berlangsiung hingga Mei 2008, dan enam bulan berikutnya akan berkonsentrasi pada kegiatan PROMOSI dan REPLIKASI (hingga Desember 2008).

 

Hutan Lambusango merupakan hutan alam dataran rendah dengan kondisi utuh yang terletak di tengah Pulau Buton. Selain memiliki kekayaan keragaman hayati endemik  kawasan Wallacea, hutan ini juga merupakan hulu daerah Aliran Sungai (DAS) bagi seluruh Sungai yang mengalir ke Pulau Buton bagian Selatan. Hutan Lambusango (± 65,000 Ha) terdiri atas dua kawasan konservasi (±29,320 ha), yaitu Cagar Alam  Kakenauwe (± 810 ha) dan Suaka Margasatwa Lambusango (± 28,510 ha) yang dikelola oleh BKSDA Sulawesi Tenggara (Departemen Kehutanan), dan ± 35,000 ha sisanya merupakan Hutan Lindung dan Hutan Produksi yang dikelola oleh Pemda Kabupaten Buton.

 

Sejak tahun 1999, Hutan Lambusango telah menjadi tempat penelitian Operation Wallacea Ltd [perusahaan ekspedisi konservasi/ekowisata]  yang dipimpin oleh Dr. Tim Coles (tim.coles@opwall.com, www.opwall.com) yang melakukan penelitian setiap Bulan Juli hingga September setiap tahun.  Kegiatan ekowisata ini dilihat dari skala (jumlah wisatawan) dan manfaatnya bagi masyarakat tempatan merupakan salah satu kegiatan ekowisata berbasis hutan terbesar di Indonesia. 

 

Berikut adalah ringkasan kegiatan dan pencapaian PKHL:

 

1.  Telah terbangunnya Forum Hutan Kemasyarakatan Lambusango (FHKL) sebagai mitra pemerintah yang telah berperan aktif dalam (a) Memperkuat kebijakan penatakelolaan hutan; (b) Membangun gerakan pelestarian hutan; (c) Membangun pengamanan hutan berbasiskan masyarakat. 

 

2.  Telah terbangunnya  model bisnis pedesaan sebagai alternatif matapencaharian masyarakat.  PKHL telah berhasil memfasilitasi Asosiasi Petani Mete di salah satu desa disekitar Hutan Lambusango (Desa Matanauwe, Asosiasi Petani Mete Matanauwe/APJMM) untuk mendapat Sertifikasi Fairtrade dari FLO, Jerman, dimana hal ini merupakan asosiasi petani pertama di dunia yang mendapatkan sertifikasi fairtrade untuk produk mete. Program ini telah dan sedang memfasilitasi perdagangan internasional untuk produk pertanian khususnya kacang mete dan kopi. Selain itu berbagai jenis bisnis pedesaan telah berhasil dikembangkan seperti pertanian jeruk, jahe, rumput laut, kerang mutiara, minyak kelapa dan sebagainya.  Tujuan akhir dari inisiasi ini adalah terbangunya kesepakatan masyarakat desa dalam pelestarian hutan.  Operation Wallacea Ltd bersama OWT kini sedang dan terus membantu petani di sekitar hutan untuk memasarkan hasilnya ke pasaran internasional (Wildlife Conservation Product/WCP).

 

3.  Telah terbangunnya Forum Sistem Informasi Geografis (FSIG) yang telah berhasil menarik investasi Pemda Buton untuk mengadakan peralatan GIS untuk pengadaan peta-peta digital mutakhir dan perencanaan tata ruang wilayah berbasis konservasi.

 

4.   Terbangunnya kolaborasi pengamanan hutan (Forest Crime Unit Lambusango/ FCUL)  telah berhasil membangun kesadaran hukum bagi masyarakat sekitar hutan dan melakukan penegakan hukum bagi pelaku illegal logging dan perambah hutan.

 

5.   Kegiatan kampanye melalui berbagai media (poster, sticker, dialog interactive di radio dan televisi lokal, lomba mengarang dan pidato) telah berhasil membangun kesadaran dan kebanggaan masyarakat Buton dan Sulawesi Tenggara terhadap keberadaan Hutan Lambusango.

 

6.  Terpublikasikannya Buletin Lambusango Lestari (13 edisi), buku-buku yang membahas keragaman hayati Hutan Lambusango, dakwah lingkungan dan pembangunan semangat nasionalisme lingkungan. 

 

7.  Telah memfasilitasi pelaksanaan dan menyediakan bahan-bahan ajar muatan lokal pendidikan lingkungan hidup di tingkat SD dan SLTA untuk Kabupaten Buton dan Kota Bau-Bau.

 

8.  Telah memberikan bea-siswa kepada tiga orang mahasiswa PhD Indonesia (kuliah di Universitas Inggris) dan memfasilitasi kegiatan penelitian di Hutan Lambusango.

 

9.  Telah memberikan bea-siswa 45 orang mahasiswa/i S1 dan pelatihan bagi 97 orang siswa/i SLTA untuk melakukan survei keragaman hayati di Hutan Lambusango.

 

10. Telah melakukan monitoring perubahan sosial-ekonomi masyarakat sebagai dampak keberadaan PKHL.

 

Berkaitan dengan fase PROMOSI  dan REPLIKASI program, kami mengharap bantuan rekan-rekan untuk memberikan informasi waktu dan tempat berbagai event diskusi Forum-Forum Konservasi baik tingkat lokal, regional maupun nasional, berbagai kegiatan Workshop, Seminar Konservasi, dan berbagai pertemuan lainnya yang relevan, dimana kami dapat ikut berpartisipasi dan berkesempatan untuk mempromosikasn program ini, khususnya untuk berbagi pengalaman dan mencari lokasi yang sesuai untuk mereplikasi program ini.

 

Kami mengkopi pesan ini kepada Dr. Tony Whitten (Senior Biodiversity Specialist, Environment and Social Development Sector, East Asia and Pacific Region, World Bank, Twhiiten@worldbank.org)  sebagai Task Team Leader program ini. 

 

Atas perhatian dan kerjasamanya disampaikan terima kasih.

 

 

Down load : owt_inception_report-ed1

 

Salam,

 

Dr. Edi Purwanto

Operation Wallacea Trust

Jl. La Balawo No. 25, Bau-Bau, Buton, SE Sulawesi, Indonesia

Phone/Fax: +62 402 25506, HP: +62 81 296 55 233

www.epurwanto.wordpress.com

www.lambusango.com

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Older Posts »

Categories