Posted by: epurwanto | April 21, 2008

Social Forestry dan Pemberdayaan Masyarakat

Social Forestry dan Pemberdayaan Masyarakat

 

 

“Forestry is not about trees, it is about people. And it is about trees only in so far as trees can serve the needs of the people” (Westoby, 1987[1])

 

“Kehutanan bukan sekedar berhubungan dengan pohon, melainkan masyarakat. Pohon menjadi penting selama keberadaannya bermanfaat bagi kepentingan masyarakat”.

 

Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang memiliki budaya harmoni (hidup selaras) dengan alam, yaitu yang  memposisikan diri sebagai bagian dari alam, bangsa yang meng-kami-kan alam, dan bukan meng-engkau-kan alam. Hal ini berbeda dengan akar budaya barat yang memandang alam sebagai bagian yang terpisah dari dirinya, sehingga mainstream yang berkembang adalah menaklukan alam.

 

Kentalnya budaya harmoni dengan alam inilah yang membuat hutan alam purba di negeri ini bisa dipertahankan selama berabad-abad, bahkan masih dalam kondisi utuh hingga akhir tahun 60-an. Hal tersebut terjadi, karena masyarakat memandang hutan sebagai rumah, menjadi bagian dari budaya dan kehidupan mereka. Merusak hutan berarti menghancurkan kehidupan. Tanpa dukungan budaya seperti ini, bisa dipastikan seluruh hutan alam purba telah hancur jauh sebelum pemerintahan orde baru dan era reformasi saat ini. Tanpa budaya harmoni dengan alam, hutan-hutan alam purba telah lama punah, sebagaimana yang terjadi di negara-negara barat.

 

Memandang alam sebagai rumah yang perlu dijaga inilah yang kemudian dikenal dengan prinsip‘ekologi’, dari kata oikos yang berarti rumah, dan logos yang berarti ilmu.  Ilmu ekologi yang tumbuh di Barat inilah yang kemudian mendasari gerakan konservasi. Berbeda dengan Bangsa Indonesia yang memiliki akar budaya harmoni dengan alam, di Barat  kesadaran tersebut baru tumbuh setelah hutan-hutan alam mereka hancur, keragaman hayatinya merosot, baik oleh kerusakan hutan maupun penggunaan bahan kimia secara berlebihan. Terganggunya keseimbangan ekologi oleh kehancuran hutan dan penggunaan teknologi inilah yang  menginspirasi Rachel Carson untuk menulis ‘The Silent Spring’ (musim semi yang sepi) pada tahun 1962. Buku setebal 400 halaman ini berhasil menggugah kesadaran orang terhadap pentingnya hidup harmoni dengan alam. Sejak itulah gerakan ekologi dan konservasi di Barat berkembang pesat. 

 

Ironisnya, saat gerakan konservasi di Barat sedang mekar, manusia Indonesia yang  sedang demam growth-mania (pertumbuhan ekonomi) justru gencar-gencarnya mengeksploitasi hutan alamnya. Pemerintah mensimplifikasi hutan hanya sebagai ladang emas hijau, padahal hutan juga menjadi habitat beraneka jenis kekayaan hayati, selain menjadi tempat hidup masyarakat asli, yang di masa lalu sering disebut sebagai ‘masyarakat terasing’. Penetapan kawasan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) sama sekali tidak mempertimbangkan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat asli. Dampaknya ‘kerajaan’ suku-suku asli yang selama ratusan tahun hidup harmoni dengan alam hancur, seiring dengan kerusakan habitatnya. Mereka kemudian hanya berperan sebagai penonton yang miskin dan tidak berdaya. 

 

Base-camp, base-camp HPH yang didirikan di jantung-jantung kehidupan masyarakat asli selain menjadi pusat gerakan penghancuran hutan, juga menjadi penyebar virus gaya hidup konsumerisme. Dari sana para ‘penonton’ itu  mengenal berbagai jenis makanan dan minuman serta barang-barang ‘aneh’ yang sebelumnya tidak pernah mereka butuhkan. Gaya hidup materialisme ini dengan cepat merasuki seluruh sel kehidupan masyarakat asli yang sebelumnya hidup harmoni dengan alam.

 

Sementara sistem berbasis adat dalam pengeloaan sumberdaya alam juga terdegradasi  oleh sistem pemerintahan desa yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat.  Peran tokoh adat  yang sebelumnya sangat berwibawa tereduksi, sehingga berbagai aturan adat dalam pengelolaan sumberdaya alam, seperti Ongko di Sulawesi Selatan, Kaombo di Buton dan Sasi  di Maluku secara perlahan punah. Kini kelembagaan adat dan hukum adat yang ditaati, serta wilayah hukum adat yang jelas pada umumnya sudah sulit ditemukan dalam kehidupan masyarakat. Kekayaan adat yang sering kita banggakan saat ini tidak lebih hanya sebuah romantika masa lalu. Yang tersisa hanyalah bangunan adat, pakaian adat, makanan adat dan cerita kejayaan adat di masa lalu. Sedangkan sistem adat yang telah berhasil mengatur pengelolaan kekayaan sumberdaya secara adil dan lestari selama beribu tahun, sebagian (besar) telah sirna untuk selamanya. Kondisi inilah yang membuat illegal logging di berbagai kawasan hutan negara begitu marak, karena hal tersebut sudah dianggap sebagai suatu pilihan pekerjaan yang syah-syah saja. Kearifan lokal (local wisdom) yang pernah mereka miliki telah hancur diterjang ekonomi kayu.  

 

Sosial forestri

 

Dengan latar belakang kerusakan hutan dan kehancuran budaya seperti ini, bagaimana masa depan kehutanan Indonesia dibangun? Beberapa pihak menaruh harapan yang begitu besar terhadap Social Forestry (kehutanan masyarakat, sosial forestri), yang intinya adalah melibatkan peran masyarakat dalam pengelolaan hutan.  

 

Konsep sosial forestri lahir sebagai tanggapan kegagalan pengelolaan hutan oleh pemerintah, semangat ini setidaknya telah lahir jauh sebelum hutan Indonesia porak poranda, yaitu sejak Kongres Kehutanan Sedunia di Jakarta pada tahun 1978, yang mengambil tema Forest for People (hutan untuk rakyat).  Namun, ide tersebut tidak mendapat respon yang memadai dari kalangan rimbawan dan pengambil kebijakan saat itu. Kini setelah nyaris semuanya hancur, baru tumbuh kesadaran untuk menggiatkan sosial forestri. Pertanyaannya masih adakah harapan dan layakkah kita berharap dari sosial forestri?

 

Bercermin dari luar, berbagai negara memang talah melakukan gerakan sosial forestri dengan menyerahkan penguasaan lahan hutan (land ownership) kepada masyarakat lokal. Di Amerika Latin 1.juta hektar kawasan hutan telah dikelola oleh masyarakat. Hampir 75 persen masyarakat di Mexico telah memperoleh hak atas sumberdaya hutan.  Demikian juga dengan Afrika, negara-negara Afrika Timur dan Selatan hampir seluruhnya telah meningkatkan pengakuan terhadap hak masyarakat lokal atas sumberdaya hutan.  Antara tahun 1994 dan tahun 1998, 2,5 juta hektar hutan (hampir 20% dari wilayah Filipina) diklasifikasikan sebagai wilayah adat, hal serupa juga terjadi di India, Nepal, Philipina, Thailand, Jepang, Korea Selatan  dan China. World Summit of Sustainable Development  di Afrika Selatan yang dihadiri 130.000 orang di seluruh dunia, juga mengakui bahwa gerakan community forestry akan menjadi sintesa dari gerakan kehutanan dunia.

 

Di Indonesia pengakuan secara hukum pengelolaan hutan oleh masyarakat baru terjadi di Krui (29.000 Ha, hutan damar mata kucing) di Lampung dengan menetapkan sebagai Kawasan dengan Tujuan Istimewa (KdTI), dimana masyarakat memperoleh hak pakai. Di Indonesia kebijakan sosial forestri selama ini ‘mentabukan’ disangkut-pautkan dengan masalah ‘land tenure’ (kepemilikan lahan hutan).  Artinya, sosial forestri hanya memberi hak kelola masyarakat terhadap lahan hutan, bukan hak kepemilikan kawasan hutan. Hutan, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya, dikuasai oleh negara (Pasal 4, ayat 1 UU 41.1999).

 

Kondisi seperti ini sering dikritisi oleh pengamat dan penggiat sosial forestri, pemerintah yang terbukti telah gagal mengelola hutan, sudah saatnya mengkuasakan sebagian dari kawasan hutan negara kepada masyarakat. Dilain pihak, keengganan pemerintah dapat pula dipahami, selain hal tersebut bertentangan dengan UU 41/1999,  semakin rapuhnya kelembagaan dan kearifan masyarakat lokal, maka penguasaan hutan kepada masyarakat dikawatirkan hanya memindahkan nasib hutan dari mulut singa ke mulut harimau. Namun benarkah masalah kepemilikan ini merupakan hal mendasar dalam penyelenggaraan sosial forestri?

 

Sosial forestri: Bukan sekedar persoalan kepemilikan

 

Ada yang menarik dari salah satu hasil penelitian Bulungan Research Forest (Levang, P dkk., 2003), yaitu meskipun hutan berperan besar dalam memenuhi hajat hidup bagi masyarakat Dayak Punan, hilangnya hutan  pada kasus tertentu ternyata tidak selalu berdampak pada semakin miskinnya masyarakat Punan. Hal ini dapat terlihat oleh kontrasnya perbandingan taraf hidup (bukan kesejahteraan/well-being) masyarakat yang hidup di wilayah terpencil di hulu sungai (hutan belum terganggu) dengan masyarakat yang berada di dekat Ibukota Kabupaten Malinau (hutan telah terbabat habis).  Di wilayah hulu, dimana sumberdaya hutan masih melimpah ruah, taraf hidup masyarakat adalah sangat rendah. Akses ekonomi, pendidikan dan kesehatan sangat terbatas dengan kematian anak yang berumur dibawah lima tahun yang sangat tinggi (35 %).  Sedangkan di wilayah hilir, dimana sumberdaya hutan telah habis, justru tarap hidup masyarakat Punan lebih baik, karena lebih tingginya akses ekonomi, pendidikan dan kesehatan, dan kematian balita-pun terhitung sangat rendah (6%).   

 

Dari hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa akses yang tinggi terhadap sumberdaya hutan yang melimpah tidak menjamin taraf hidup masyarakat. Kekurang berdayaan (miskinnya pendidikan, keterampilan, kelembagaan, sarana dan prasarana serta pasar) telah membuat mereka gagal mentransfer sumberdaya berharga yang mereka miliki kedalam nilai pasar. Tragisnya, apabila aksesibilitas ekonomi mereka di suatu saat meningkat, belum tentu mereka menjadi penikmat sumberdaya alam yang mereka miliki, karena pada saat itu berbagai pemodal kuat dari luar akan berdatangan untuk mengepung sumberdaya yang mereka miliki, dan mereka biasanya akan semakin termarginalisasi.

 

Dari kasus di atas, begitu jelas, bahwa persoalannya bukan sekedar kepemilikan sumberdaya, namun yang tidak kalah penting adalah keberdayaan masyarakat, tanpa masyarakat menjadi berdaya, apapun dan berapapun sumberdaya alam yang mereka kuasai akan jatuh ke tangan mereka yang tidak berhak. 

 

Sosial Forestri: Membuat masyarakat sekitar hutan berdaya

Disadari bahwa masalah sosial-ekonomi masyarakat kini merupakan conditio sine qua non (prasyarat mendasar) tercapainya kelestarian pengelolaan hutan, bagaimanapun baiknya penerapan aspek teknis pengelolaan hutan, apabila masalah sosial tidak dikelola dengan baik, maka semuanya tidak akan ada artinya, mengingat seluruh hasil kerja pengaturan kelestarian hutan berdasarkan teori silvikultur sebaik apapun, kualitasnya akan ditentukan oleh besarnya tingkat gangguan dan jaminan pengamanan hutan yang diberikan oleh masyarakat.

Disadari, sebagian besar masyarakat di sekitar hutan memiliki alternatif  terbatas dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Kegiatan illegal yang dilakukan oleh masyarakat di sekitar hutan  saat ini dilakukan karena terpaksa, karena tidak tersedia alternatif sumber ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya hari ini! Mereka menyadari bahwa kegiatan tersebut ilegal, mereka juga menyadari bahwa tenaga yang dicurahkan dan resiko kecelakaan (karena jarak dari desa ke sumber-sumber kayu dan rotan yang semakin jauh dari jalan dan umumnya sulit dijangkau) dalam proses penebangan dan pengangkutan kayu dan rotan tidak sebanding dengan upah yang diterima, mereka juga menyadari bahwa penikmat utamanya adalah para cukong.  Mereka melakukan itu semua karena tidak mampu mencari alternatif sumber kehidupan lain yang lebih manusiawi dan ramah lingkungan. Mereka terbelenggu oleh ketidakberdayaan struktural.

Kata ‘kehutanan’ (forestry) dalam ‘sosial forestri’, sebagaimana kutipan dari Westoby (1967) di awal tulisan ini, bukan semata berhubungan dengan pohon (forest), melainkan masyarakat yang berada disekitar hutan. Sosial forestri dengan demikian adalah sebuah upaya untuk meningkatkan kondisi ekonomi masyarakat yang hidup di sekitar hutan, terlepas sumber pencahariannya bersumber dari hutan atau bukan. Hutan tidak mungkin dipertahankan kelestariannya apabila masyarakat di sekitarnya dalam kondisi papa (miskin) dan tidak berdaya. Hutan hanya akan dapat dijaga kelestariannya oleh masyarakat yang berdaya. Dengan demikian sosial forestri adalah upaya membuat masyarakat disekitar hutan berdaya!

Kegiatan sosial forestri dengan demikian tidak terbatas di dalam hutan, melainkan seluruh upaya untuk membuat masyarakat sekitar hutan berdaya, sehingga mampu menjaga kelestarian hutannya. Hal tersebut misalnya dapat dilakukan dengan memfasilitasi terbangunnya unit-unit usaha kecil dan menengah (UKM) yang dapat digunakan sebagai alternative income sources (alternatif pencaharian) atau sustainable livelihood (mata pencaharian yang tidak merusak) bagi masyarakat yang selama ini hidupnya hanya tergantung dari sumberdaya hutan. Dalam konteks ini, setidaknya ada lima prinsip yang perlu ditekankan dalam pengembangan sosial forestri, yaitu membangun kapasitas masyarakat untuk berproduksi, memperkuat kapasitas dan kelembagaan masyarakat, membangun jaringan pemasaran baik untuk produk hutan atau non-hutan, meningkatkan nilai tambah produksi melalui pembangunan home-industri, dan peningkatan akses kredit perbankan.

Masalah sosial-ekonomi masyarakat menjadi kunci utama terjaminya kelestarian hutan, dengan demikian sosial forestri perlu dijabarkan secara lebih leluasa, yang meliputi seluruh upaya pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan. Sosial forestri adalah kegiatan pemberdayaan masyarakat, bukan sekedar pengusahaan hutan oleh masyarakat


[1] Westoby, 1987 dalam Sardjono, 2003

 


Responses

  1. Yth, mas Edi

    Dulu kita pernah ketemu di Cilempuyang. Sekarang saya di Samarinda, ditinggal p Sudayatna.

    Awal simpang siur pengelolaan hutan ternyata ada di Manggala mas. Sampai kapanpun, SF bukan merupakan bagian dari jiwa rimbawan, selama di Manggala masih terkotak-kotak dinding ego ditjen secara formal.

    Bayangkan, pengelolaan ekosistem hutan dibagi-bagi menurut kotak2 ditjen, padahal ditjen2 ditentukan berdasarkan aspek fungsional, bukan aspek kawasan/spasial. Itu yg pertama harus ditata ulang.

    Mas, apa sy bisa dikirimi paper ttg hidrologi dan restorasi?

    Tks mas.

  2. Mas Edi Purwanto, dulu kita pernah ketemu di salah satu sub-das di garut rasanya sewaktu saya bekerja di BTPDAS Solo (1993 – 1996). Ekarang aku di Puslitsosek dan kebijakan Kehutanan, Balitbang Bogor. Saya lg menyusun sintesa penelitian social forestry balitbang kehutanan. Saya mau minta ijin menggunakan tulisan anda sebagai acuan. Memang pengelolaan hutan di In donesia harus total climate change, supaya alam tidak marah. Resources based ekonomic harus diatas money based economic. Cona aku minta no hp sampean.

    Ismatul Hakim, angkatan 15 fahutan ipb

  3. salam kenal mas,selain memfasilitasi UKM2 apalagi yang bisa dilakukan untuk membuat masyarakat hutan berdaya

  4. Dear Sir,

    in the August 19-25 2008 Edition of Tempo (English Edition) with the cover story “Coal Chaos”, in the feature called “Outreach” you contributed two very interesting articles on Fair Trade Cashew nuts in SE Sulawesi on pp. 5-6.

    I am very keen to learn from the experiences in Buton with regard to attaining Fair Trade Certification, how the producer groups are organized, what type of support they got etc.

    Drop me a line please so we can discuss this in more detail.

    With kind regards,

    Stefan Schumacher

  5. Salam kenal, ingin berbagi pengalaman tentang pengelolaan hutan di tempat tinggal kami, Kelurahan Tobimeita, Abeli Kota Kendari.

  6. salam kenal pak

  7. salam kenal mas,ingin berbagi pengalaman tentang pengelolalaan hutan tentunya mas edi lebih penngalaman dalam hal ini dan saya mahsiswa kehutanan yang bentar lagi mau selesai, di tempat sya di kabupaten kepulauan mentawai provinsi sumatera barat, butuh pengelolaan hutan yang secara efektif,

  8. salam sukses mas….


Leave a reply to Musdamin Cancel reply

Categories